Senin, 05 Januari 2009

Keterbacaan Buku Teks Pelajaran SD


Oleh Dr. H. Suherli, M.Pd.

A. Latar Belakang
Penelitian tentang keterbacaan buku teks pelajaran ini berada dalam kerangka standardisasi mutu buku teks pelajaran di sekolah mengacu pada peraturan yang berlaku. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan antara lain menyebutkan bahwa buku teks pelajaran termasuk ke dalam sarana pendidikan yang perlu diatur standar mutunya, sebagaimana juga standar mutu pendidikan lainnya, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Pasal 43 peraturan ini menyebutkan bahwa kepemilikan buku teks pelajaran harus mencapai rasio 1:1, atau satu buku teks pelajaran diperuntukkan bagi seorang siswa. Buku teks pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah harus memiliki kebenaran isi, penyajian yang sistematis, penggunaan bahasa dan keterbacaan yang baik, dan grafika yang fungsional. Kelayakan ini ditentukan oleh penilaian yang dilakukan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri. 
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Permendiknas) Nomor 11 Tahun 2005 secara lebih rinci mengatur tentang fungsi, pemilihan, masa pakai, kepemilikan, pengadaan, dan pengawasan buku teks pelajaran. Menurut Peraturan Menteri ini, buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Buku teks pelajaran berfungsi sebagai acuan wajib oleh guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran. 
Dari hasil kajian diketahui bahwa buku-buku teks yang digunakan di sekolah-sekolah kita terdiri atas empat jenis. Apabila ditinjau berdasarkan klasifikasi buku pendidikan, maka terdiri atas (1) buku teks pelajaran; (2) buku pengajaran; (3) buku pengayaan; dan (4) buku rujukan (Pusat Perbukuan Depdiknas, 2004:4). Buku teks pelajaran merupakan buku yang berfungsi bagi siswa untuk belajar. Jenis buku ini sangat bergantung pada kurikulum yang dikembangkan. Buku pengajaran dinamakan pula buku panduan pendidik (Permendiknas No. 11/2005). Buku ini berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam mengajarkan suatu materi pelajaran. Buku pengayaan berfungsi sebagai buku yang dapat memperkaya pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian siswa. Buku rujukan disebut juga buku referensi (Permendiknas No. 11/2005). Buku ini merupakan buku yang berfungsi sebagai sumber informasi dalam memperdalam suatu kajian. Jenis buku ini sering disebut pula dengan buku sumber atau buku acuan.  
Beberapa karakteristik buku teks pelajaran adalah: (1) memiliki landasan keilmuan yang jelas dan mutakhir; (2) berisi materi yang memadai, bervariasi, mudah dibaca, dan sesuai dengan kebutuhan siswa; (3) disajikan secara sistematis, logis, dan teratur; (4) meningkatkan minat siswa untuk belajar; (5) berisi materi yang membantu siswa untuk memecahkan masalah keseharian; (6) memuat materi refleksi dan evaluasi diri untuk mengukur kompetensi yang telah dan akan dipelajari.
Dari aspek isi atau materi, buku teks pelajaran harus dapat dipertanggungjawabkan dari sudut kebenaran ilmu yang diajarkannya dan tidak melanggar tata norma yang berlaku. Bahan pembelajaran ini harus spesifik, jelas, dan akurat, sesuai dengan kurikulum yang berlaku, serta bersifat mutakhir dan mengikuti perkembangan zaman. Ilustrasi sesuai dengan teks dan lebih bersifat edukatif serta tidak hanya sebagai dekoratif. 
Buku teks pelajaran juga harus menyajikan tujuan pembelajaran, mengatur gradasi dan seleksi bahan ajar, mengurutkan penugasan kepada siswa, memerhatikan hubungan antarbahan, dan hubungan teks dengan latihan dan soal. Penyajian ini hendaknya dapat meningkatkan motivasi siswa, mengarah pada penguasaan kompetensi, saling berkaitan sehingga bahan yang satu dapat mengingatkan bahan yang lainnya (recalling prerequisite), memanfaatkan umpan balik (feedback) dan refleksi diri (self-reflection).
Buku teks pelajaran hendaknya juga mampu menyampaikan bahan ajar itu dalam bahasa yang baik dan benar. Di sini dapat dilihat apakah penggunaan bahasanya wajar, menarik, dan sesuai dengan perkembangan siswa atau tidak. Aspek keterbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa (kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana) bagi siswa sesuai dengan jenjang pendidikannya, yakni hal-hal yang berhubungan dengan kemudahan membaca bentuk tulisan atau topografi, lebar spasi dan aspek-aspek grafika lainnya, kemenarikan bahan ajar sesuai dengan minat pembaca, kepadatan gagasan dan informasi yang ada dalam bacaan, dan keindahan gaya tulisan, serta kesesuaian dengan tatabahasa baku.
 Pada tahun 2004 Depdiknas melalui SK Dirjen Dikdasmen Nomor 455 dan 505 telah menetapkan buku-buku teks pelajaran untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah untuk mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan Pengetahuan Sosial yang memenuhi kelayakan isi, penyajian, keterbacaan, dan grafika berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh PNPBP Pusat Perbukuan Depdiknas pada tahun 2004. Buku-buku tersebut pada tahun 2006 sepatutnya telah digunakan di SD/MI di seluruh Indonesia.  
 Untuk menentukan keterbacaan suatu teks pelajaran seharusnya dikaji pada tiga hal, yaitu keterbacaan teks, latar belakang pembaca, dan interaksi antara teks dengan pembaca. Keterbacaan berhubungan dengan peristiwa membaca yang dilakukan seseorang, sehingga akan bertemali dengan aspek (1) pembaca; (2) bacaan; dan (3) latar (Rusyana, 1984: 213). Ketiga komponen tersebut akan dapat menerangkan keterbacaan buku teks pelajaran. 
 Penilaian terhadap keterbacaan buku teks pelajaran yang telah dilakukan terhadap buku-buku teks pelajaran pada 2004 hanya berpusat terhadap aspek bacaan, baik hal-hal yang berhubungan dengan wacana, paragraf, kalimat, dan kata yang dipandang dari kaidah bahasa Indonesia dan ketersesuaian bahasa dengan peserta didik. Sementara itu, informasi tentang kondisi pembaca dan interaksi antara pembaca dengan bacaan dalam kegiatan penilaian tidak menjadi pertimbangan karena informasi tersebut harus diperoleh ketika buku tersebut digunakan peserta didik sebagai pembacanya.
 Oleh karena itu, informasi tentang pembaca dan interaksi pembaca dengan bacaan diperlukan dalam melengkapi keterbacaan buku teks pelajaran. Dengan demikian, dilakukan pengkajian secara lebih mendalam tentang aspek tersebut, yaitu “Keterbacaan Buku Teks Pelajaran Sekolah Dasar Berstandar Nasional” yang ditinjau berdasarkan karakteristik pembaca dan penggunaannya dalam pembelajaran.

B. Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kajian keterbacaan ini menetapkan masalah sebagai berikut:
(1) Bagaimanakah profil membaca siswa Sekolah Dasar yang berinteraksi dengan buku teks pelajaran berstandar nasional, dilihat dari:
(a) Keragaman bacaan yang dibaca di luar jam pelajaran sekolah?
(b) Kekerapan melakukan kegiatan-kegiatan membaca di luar jam pelajaran sekolah?
(2) Bagaimanakah keterbacaan buku teks pelajaran Sekolah Dasar yang Berstandar Nasional apabila ditinjau berdasarkan karakteristik siswa sebagai pengguna buku?
Masalah ini dikembangkan lagi dengan mencermati karakteristik siswa. Oleh karena itu masalah ini dikembangkan lagi menjadi:
(a) Bagaimanakah keterbacaan buku teks pelajaran apabila ditinjau berdasarkan keterpahaman siswa terhadap penggunaan kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana yang terdapat dalam buku tersebut?
(b) Bagaimanakah keterbacaan buku teks pelajaran apabila ditinjau berdasarkan kemenarikan penyajian dalam buku teks yang turut menentukan keterpahaman buku tersebut?
(c) Bagaimanakah keterbacaan buku teks pelajaran apabila ditinjau berdasarkan kemudahan dalam memahami sistematika penyajian materi?
(3) Bagaimanakah keterbacaan buku teks pelajaran sekolah dasar berstandar nasional apabila ditinjau berdasarkan penggunaannya dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru?

C. Landasan Teori Utama
Keterbacaan dalam bahasa Inggris disebut readability. Keterbacaan adalah seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antarteks) yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972). Mc Laughin (1980) menambahkan bahwa keterbacaan itu berkaitan dengan pemahaman pembaca karena bacaannya itu memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan pembacanya terus tenggelam dalam bacaan.
Gilliland (1972) kemudian menyimpulkan keterbacaan itu berkaitan dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman. Kemudahan membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Kemudahan ini berkaitan dengan kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran tulisan). Kemenarikan berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf. 
Selanjutnya, Klare (1984:726) menyatakan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang baik akan memengaruhi pembacanya dalam meningkatkan minat belajar dan daya ingat, menambah kecepatan dan efisiensi membaca, dan memelihara kebiasaan membacanya.
Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui formula keterbacaan dan melalui respons pembaca (McNeill, et.al., 1980; Singer & Donlan, 1980). Formula keterbacaan pada dasarnya adalah instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formulanya relatif sederhana dan mudah digunakan.
Tingkat keterbacaan wacana juga dapat diperoleh dari tes keterbacaan terhadap sejumlah pembaca dalam bentuk tes kemampuan memahami bacaan. Tes itu menguji apa yang disebutkan oleh Bernhardt (1991) sebagai ’enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan’. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intratextual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat, sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu. 
Sementara itu, Gilliland (1972) menyebutkan lima cara mengukur tingkat keterbacaan, yakni penilaian subjektif, tanya jawab, formula keterbacaan, grafik & Carta, dan teknik cloze. Penilaian subjektif dilakukan oleh sejumlah orang tertentu –seperti guru, pustakawan, editor, dan kelompok pembaca berdasarkan pengamatan atas isi, pola, kosakata, format dan pengorganisasian suatu bacaan. Oleh karena sifatnya subjektif, keabsahan hasil penilaiannya bergantung pada keandalan para penilai. Jika penilai memiliki pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek keterbacaan, maka hasil penilaian biasanya memiliki validitas yang baik.
Penelitian tentang keterbacaan buku sudah berlangsung sejak tahun 1920-an, antara lain dilakukan oleh Lively dan Pressey yang menemukan formula keterbacaan berdasarkan struktur kata dan kalimat serta makna kata yang diukur dari frekuensi dan kelaziman pemakaiannya (Klare, 1984). Dale (dalam Tarigan, 1985) meneliti jumlah kosakata yang digunakan oleh anak-anak pembelajar pemula di Amerika Serikat. Sebanyak 1500 kata telah dikuasai mereka, terutama kosakata yang berhubungan dengan kata-kata yang digunakan sehari-hari. Memasuki tahun kedua, para siswa itu telah menguasai kosakata sejumlah 3000 kata. Penambahan kosakata setiap tahun sekitar 1000 kata, sehingga jumlah kosakata rata-rata bagi lulusan SMA sekitar 14000 kata, dan bagi mahasiswa sekitar 18000 sampai 29000 kata (Harris & Sipay dalam Zuchdi, 1995).
Hasil studi keterbacaan yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Perbukuan tahun 2003-2004 menyimpulkan bahwa ciri-ciri penting dari suatu buku teks pelajaran untuk sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi dapat dilihat dari penggunaan aspek wacana, paragraf, kalimat, pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan dalam buku teks pelajaran tersebut. Berdasarkan kajian terhadap aspek wacana, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi untuk siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi. 
Berdasarkan kajian terhadap aspek paragraf dari penelitian itu, diketahui bahwa buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi adalah buku pelajaran yang disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif. Paragraf induktif dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman siswa kelas empat, lima, dan enam jika digunakan dalam wacana narasi. 
Berdasarkan kajian terhadap aspek kalimat, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa kelas dua dan tiga adalah jika kalimat-kalimat yang digunakannya berupa kalimat sederhana, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam dapat menggunakan kalimat luas yang dapat meningkatkan pemahamannya secara lebih baik. Jika wacana yang digunakannya adalah wacana argumentasi, maka kalimat-kalimat sederhana dalam wacana tersebut dapat meningkatkan keterbacaan suatu buku pelajaran. 
Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
Berdasarkan kajian terhadap pertanyaan bacaan atau latihan dalam buku teks pelajaran, diketahui bahwa buku pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga sebaiknya menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata, atau melengkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sementara itu, pertanyaan atau latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam dapat menggunakan pertanyaan, perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan berpikir logis dan kemampuan berpikir abstrak.  
Dalam kaitan dengan pengukuran keterbacaan suatu bacaan atau buku teks pelajaran untuk sekolah dasar maka dapat dinyatakan bahwa formula SMOG dapat digunakan untuk memprediksi kesesuaian peruntukan suatu bacaan sebelum bacaan tersebut digunakan sebagai bahan ajar kepada para siswa sekolah dasar. Formula ini cukup sederhana dan dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang paling sedikit terdiri atas 10 kalimat. 
Pengukuran ahli atau guru terhadap keterbacaan suatu bahan bacaan hanya dapat dilakukan jika penilai (assessor) menguasai materi pelajaran yang akan diukur dan menguasai pula aspek-aspek kebahasaan yang digunakan dalam bacaan tersebut. Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keterbacaan, sebelum digunakan sebagai bahan ajar kepada peserta didik.
Pengukuran keterbacaan berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan pertanyaan bacaan merupakan pengukuran yang realistis. Hasil pengukuran dengan cara ini menghasilkan keterbacaan yang sesuai dengan hasil pengukuran dari formula SMOG dan penilaian ahli. Pengukuran jenis ini dianggap hasil pengukuran yang paling sesuai, karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pemakainya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai indikator dari suatu bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi.

D. Metodologi Penelitian
Kajian keterbacaan ini dilakukan untuk mengetahui keterbacaan berdasarkan interaksi pembaca (siswa) dengan buku teks pelajaran Sekolah Dasar berstandar Nasional. Untuk mendapatkan informasi itu, terlebih dahulu dikaji profil pembaca (siswa) Sekolah Dasar di Indonesia. Fokus kajian ini adalah mengetahui keterbacaan buku teks pelajaran yang telah dinyatakan memenuhi standar nasional, terutama berdasarkan keterpahaman dan kemenarikan buku ditinjau dari kondisi siswa Sekolah Dasar di Indonesia. Selain itu, keterbacaan buku teks pelajaran tersebut ditinjau pula berdasarkan tanggapan dan pengalaman guru dalam menggunakan buku teks pelajaran dalam kegiatan pembelajaran. 
Dalam hal keterbacaan berdasarkan kondisi siswa, data dikaji berdasarkan karakteristik siswa ditinjau dari (1) jenis buku teks pelajaran yang digunakan (Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial); (2) kewilayahan (Indonesia bagian Barat dan Timur); (3) tingkatan pendidikan (kelas rendah/kelas 1 dan 2 dibandingkan dengan kelas tinggi, kelas 3,4,5, dan 6); serta (3) berdasarkan jenis kelamin siswa (laki-laki dan perempuan). Sementara itu, data dari guru tidak diklasifikasikan berdasarkan karakteristik guru, karena hal itu bukan sebagai fokus kajian ini.
Kajian ini dilakukan dengan menggunakan sumber data berupa:
(1) Semua buku teks pelajaran Sekolah Dasar yang berstandar nasional.
(2) Siswa Sekolah Dasar (kelas 1 sampai dengan kelas 6) yang menggunakan buku teks pelajaran yang berstandar nasional.
(3) Guru Sekolah Dasar yang menggunakan buku teks pelajaran yang berstandar nasional sebagai bahan pembelajarannya.
Dalam menentukan sampel dari sumber data tersebut, dilakukan dengan teknik purposive sampling dengan kriteria pemilihan sampel untuk studi keterpahaman siswa terhadap buku berstandar nasional adalah sebagai berikut:
(1) Buku pelajaran yang digunakan di sekolah yang berada dalam jangkauan studi ini dan sekolah penerima block grant buku pelajaran bahasa Indonesia, Sains, Pengetahuan Sosial, dan Matematika.
(2) Pemilihan sekolah dasar sebagai sampel dengan mempertimbangkan klasifikasi hasil akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Sekolah (Akreditasi A, B, dan C).
(3) Pemilihan sekolah juga mempertimbangkan letak geografis sekolah (sekolah kota besar, kota kecil, dan pinggiran).
(4) Pemilihan sampel siswa berdasarkan keterwakilan siswa laki-laki dan siswa perempuan dari tiap tingkat kelas (I sampai dengan VI).
(5) Jumlah sampel siswa untuk setiap kelas minimal empat orang.
(6) Jumlah sampel guru adalah seluruh guru kelas I sampai VI pada sekolah yang menjadi sampel.
Sementara itu, sebagai pembanding dilakukan kajian keterbacaan oleh ahli (desk research). Kegiatan ini dilakukan untuk mengkonfirmasi data-data yang terkumpul dari hasil penelitian. Oleh karena itu, untuk desk studi menetapkan kriteria sampel buku sebagai berikut:
a. Semua buku pelajaran bahasa Indonesia, Sains, Pengetahuan Sosial, dan Matematika yang berstandar nasional yang digunakan sekolah yang menjadi sampel sekolah.
b. Pemilihan sampel buku dilakukan secara acak dengan mempertimbangkan keterwakilan setiap mata pelajaran tersebut.
c. Pemilihan bagian yang ditelaah ditetapkan sebanyak tiga unit pelajaran (tiga bab) yang dipilih berdasarkan keterwakilan bagian awal, tengah, dan akhir dari keseluruhan pelajaran yang disajikan pada buku tersebut.

E. Hasil Penelitian
Pada bagian ini disajikan hasil penelitian yang dihubungkan dengan masalah yang diteliti. Penyajian hasil penelitian ini disesuaikan dengan hal-hal yang sangat dominan dilakukan oleh para siswa sekolah dasar. Adapun rincian hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Profil Membaca Siswa
Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa profil membaca siswa Sekolah Dasar yang berinteraksi dengan buku teks pelajaran berstandar nasional (pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial) adalah sebagai berikut:
(a) Keragaman kegiatan membaca di luar jam pelajaran yang dilakukan siswa masih kurang. Bacaan yang dibaca setiap hari oleh siswa kelas 1-2 adalah buku komik dan judul-judul acara televisi terutama dilakukan oleh siswa laki-laki/perempuan kelas 3-6. Namun, siswa kelas 3-6 pun pada umumnya setiap hari membaca buku teks pelajaran. Bacaan fiksi (cerita) hampir tidak pernah dibaca oleh siswa 1-2 dan siswa laki-laki kelas 3-6, demikian pula diketahui bahwa khusus kelas 3-6 pada umumnya tidak pernah membaca informasi dari internet. Bacaan yang dibaca sekali dalam seminggu pada umumnya berupa majalah atau koran. Selain itu, jenis bacaan yang dibaca sekali saja dalam seminggu oleh siswa putri kelas 1-2 dan siswa kelas 3-6 adalah komik, buku pelajaran dibaca sekali dalam seminggu oleh siswa kelas 1-2, dan siswa putri kelas 3-6 membaca buku cerita pada umumnya dilakukan hanya sekali saja dalam seminggu.  
(b) Kegiatan membaca atau membaca kembali buku teks pelajaran di luar jam pelajaran sekolah dilakukan para siswa masih rendah. Kegiatan membaca dan membaca kembali buku teks pelajaran di luar jam pelajaran sekolah memiliki kekerapan lebih kecil dibandingkan dengan kekerapan mereka menonton televisi. Hal ini berarti bahwa kegiatan menonton televisi yang dilakukan siswa lebih dominan dilakukan daripada kegiatan membaca atau membaca kembali buku teks pelajaran di luar jam pelajaran sekolah. Hal yang sangat menarik diketahui bahwa dalam menonton televisi siswa kelas 1-2 perempuan dan siswa kelas 3-6 laki-laki lebih banyak daripada siswa laki-laki kelas 1-2 dan perempuan kelas 3-6. Dalam hal membaca fiksi (cerita pendek/novel, puisi, atau drama) pun masih sedikit dilakukan. Kegiatan membaca buku jenis fiksi ini pada umumnya dilakukan sekali-sekali saja dengan jumlah waktu yang lebih sedikit daripada kegiatan mereka menonton televisi. Demikian pula dengan membaca informasi dari koran, majalah, atau bacaan di internet (khusus kelas 4-6) masih sangat sedikit dilakukan oleh para siswa. 

2) Keterbacaan Berdasarkan Karakteristik Siswa
Dari kajian keterbacaan berdasarkan interaksi antara bacaan (buku teks pelajaran) dengan siswa yang ditinjau berdasarkan keterpahaman kosakata, kalimat, paragraf, jenis teks/bacaan; kemenarikan buku teks pelajaran; dan kemudahan dalam memahami sistematika penyajian diperoleh hasil penelitian sebagaimana diuraikan berikut.
(a) Keterpahaman Kosakata
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kosakata dalam buku teks pelajaran bergantung pada pengenalan mereka terhadap kosakata itu. Artinya, pemahaman mereka akan baik jika kosakata yang digunakan dalam buku Bahasa Indonesia, Sains, dan Pengetahuan Sosial itu secara berurutan sering didengar (21,40%), kosakata tersebut sudah dikenal (20,42%), dan sering digunakan (16,22%). Ini menunjukkan bahwa kondisi siswa SD pada umumnya memahami kosakata itu karena mereka sering mendengar, mengenal, dan sering menggunakan kosakata tersebut. Namun demikian, khusus untuk mata pelajaran Matematika justru tingkat pemahaman siswa terhadap kosakata yang digunakan karena kosakata tersebut sudah dikenal (23,0%) oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari.  
(b) Keterpahaman Kalimat
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kalimat dalam buku teks pelajaran bergantung pada keintiman kalimat tersebut dengan siswa. Artinya, jika kalimat-kalimat itu sudah sering dikenal oleh siswa maka akan semakin tinggi keterbacaan buku teks pelajaran tersebut. Namun, berbeda dengan hal ini, secara khusus untuk pelajaran Matematika suatu teks memiliki keterbacaan tinggi apabila kalimat tersebut disajikan secara efektif, lugas, jelas dan mengungkapkan makna atau tujuan yang dimaksudkan kalimat tersebut. Hal ini pula yang menjadi penentu kedua dari tingkat keterbacaan buku teks pelajaran.
Hal yang harus diperhatikan bahwa keterbacaan buku teks pelajaran ditentukan pula oleh kesederhanaan kalimat yang digunakan. Semakin sederhana kalimat yang disusun dalam buku teks pelajaran maka akan semakin tinggi pula keterbacaan buku teks tersebut. Apabila dalam buku teks tersebut digunakan kalimat yang sulit atau belum dikenal siswa, maka keterbacaannya menjadi rendah. Namun, akan menjadi tinggi keterbacaannya jika kalimat tersebut diikuti dengan kalimat-kalimat atau uraian yang berfungsi sebagai penjelas serta kalimat tersebut sering didengar oleh para siswa, terutama pada mata pelajaran Pengetahuan Sosial. 
(c) Keterpahaman Paragraf
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan paragraf dalam buku teks pelajaran bergantung pada letak gagasan utama dalam paragraf tersebut. Apabila dalam suatu paragraf menempatkan gagasan utama pada awal paragraf maka siswa lebih dapat memahami paragraf tersebut. Artinya, paragraf-paragraf yang disusun dengan menempatkan gagasan pokok atau pikiran utama pada awal paragraf lebih dapat dipahami siswa makna paragraf tersebut dan memiliki keterbacaan tinggi. Tingkat keterbacaan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Dengan demikian, selain menempatkan pikiran utama atau gagasan utama pada awal paragraf, kehadiran gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut dapat mempertinggi keterpahaman siswa terhadap paragraf yang digunakan. 

 (d) Keterpahaman Teks/Bacaan
Pada umumnya teks atau wacana yang digunakan dalam buku berstandar nasional dapat dipahami (64,55% atau 373 responden). Apabila ditinjau berdasarkan bentuk-bentuk wacana yang digunakan dikaitkan dengan karakteristik bacaan yang dianggap mudah dipahami siswa ditemukan bahwa alasan suatu teks/bacaan mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan bentuk wacana eksposisi dan narasi atau argumentasi. 
Hal yang sangat menarik adalah jika ditinjau berdasarkan jenis mata pelajaran, diketahui bahwa kelompok mata pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) bacaan yang mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan untuk kelompok mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi. 
Apabila ditinjau berdasarkan tingkatan pendidikan, diketahui bahwa tingkat kemudahan dalam memahami teks/bacaan, maka berdasarkan siswa kelas rendah (1-2) suatu bacaan dianggap mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut kelas tinggi jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi. 
Berdasarkan klasifikasi jender responden, diketahui bahwa menurut siswa perempuan suatu teks mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut siswa laki-laki jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi, narasi, dan argumentasi.  

(e) Kemenarikan Penyajian Buku Teks Pelajaran
Berdasarkan kajian diketahui bahwa buku teks berstandar nasional pada umumnya sangat menarik yang diungkapkan oleh 97% siswa yang menjadi responden. Adapun ketika dikonfirmasi kepada siswa alasan pernyataan tersebut dinyatakan bahwa buku teks pelajaran berstandar nasional menarik karena menggunakan gambar atau ilustrasi yang memperjelas isi materi yang disajikan dan menggunakan huruf/bacaan yang jelas dan terbaca, serta bahasa yang mudah dipahami. 
Kemenarikan buku teks pelajaran berstandar nasional jika ditinjau berdasarkan karakteristik responden, alasan tersebut hampir sama, kecuali ketika responden diklasifikasikan berdasarkan tingkatan kelas. Responden kelas tinggi (kelas 3-6) menyatakan bahwa kemenarikan buku teks pelajaran berstandar nasional adalah karena disajikan dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan menggunakan jilid dan gambar berwarna, sedangkan menurut responden kelas rendah (1-2) karena menggunakan gambar yang memperjelas isi dan menggunakan huruf yang terbaca dan jelas.  

(f) Kemudahan Memahami Sistematika Penyajian 
Berdasarkan sistematika penyajian buku teks pelajaran berstandar nasional diketahui bahwa pada umumnya buku teks pelajaran itu mudah dipahami karena penyajian suatu materi tersebut disertai gambar, dikaitkan dengan pengetahuan siswa, dan disesuaikan dengan pengalaman siswa. 
Namun, apabila ditinjau berdasarkan jenis pelajaran diperoleh informasi bahwa penyajian buku teks pelajaran Bahasa Indonesia mudah dipahami karena materinya disesuaikan dengan pengalaman siswa. Penyajian buku teks pelajaran Pengetahuan Sosial dan Sains dianggap mudah dipahami karena penyajian materinya disertai gambar. Sementara itu, buku teks pelajaran Matematika dianggap mudah dipahami karena penyajian materi dalam buku tersebut dikaitkan dengan pengetahuan siswa.  

3. Keterbacaan Berdasarkan Penilaian Guru
Berdasarkan pengalaman guru dalam menggunakan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial diketahui bahwa rata-rata keterbacaan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,52. Buku teks pelajaran Matematika memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,71. Buku teks pelajaran Sains memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,68. Buku teks pelajaran Pengetahuan Sosial memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,22. Keterbacaan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial berdasarkan penilaian guru-guru yang mengajar di wilayah Indonesia bagian Barat diketahui bahwa rata-rata keterbacaan buku teks pelajaran berstandar sebesar 3,67 sedangkan guru-guru di wilayah Indonesia bagian Timur 3,50. 
Para guru memberikan penilaian terhadap keterbacaan buku teks pelajaran sekolah dasar yang berstandar dengan skor rata-rata sebesar 3,58 dari skor ideal 5,0. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum para guru menyatakan bahwa buku teks pelajaran berstandar memiliki kualitas keterbacaan yang tinggi. Hal ini dapat diketahui dari skor rata-rata nilai keterbacaan yang diberikan guru berkaitan dengan pengalamannya dalam kegiatan pembelajaran, pada umumnya di atas skor rata-rata nilai keterbacaan. Hanya penilaian ini dianggap kurang komprehensif karena dilakukan berdasarkan buku-buku Sekolah Dasar berstandar nasional yang digunakan di sekolah tersebut. 
Hasil penilaian yang dilakukan guru ini selanjutnya dilakukan justifikasi oleh peneliti melalui desk study dengan melakukan random sampling terhadap 37 buku teks pelajaran Sekolah Dasar yang berstandar nasional. Berdasarkan kajian desk study diketahui bahwa rata-rata keterbacaan buku-buku teks pelajaran berstandar untuk Sekolah Dasar memiliki nilai 3,45. Dengan demikian, skor rerata ini tidak berbeda jauh dengan penilaian yang dilakukan guru atau tidak memiliki bias yang terlalu jauh.
Berdasarkan kajian ini diketahui bahwa pada umumnya buku teks pelajaran berstandar belum dilengkapi dengan buku Pedoman Pendidik, sehingga skor yang berhubungan dengan aspek tersebut sangat kurang. Demikian pula dengan kriteria buku yang dilengkapi dengan work book, pada umumnya buku berstandar tidak dilengkapi dengan buku kerja. 

F. Simpulan 
Dari penelitian keterbacaan buku teks pelajaran untuk Sekolah Dasar dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial diperoleh simpulan sebagai berikut:
(3) Dalam melakukan studi tentang profil membaca siswa Sekolah Dasar yang berinteraksi dengan buku teks pelajaran berstandar, diketahui bahwa:
(a) Kegiatan membaca yang dilakukan peserta didik setiap hari di luar jam pelajaran sekolah untuk kelas 1-2 adalah membaca komik dan untuk kelas 3-6 adalah acara-acara televisi dan membaca buku teks pelajaran. Siswa kelas 1-2 pada umumnya membaca kembali buku pelajaran sekali saja dalam seminggu. Peserta didik hampir tidak pernah membaca informasi dari internet dan fiksi (buku cerita rekaan), kecuali siswa perempuan kelas 3-6 yang membaca fiksi sekali dalam seminggu. Kegiatan membaca informasi dari majalah atau koran pada umumnya dilakukan sekali saja dalam seminggu.
(b) Kegiatan membaca yang dilakukan peserta didik di luar jam pelajaran sekolah memiliki porsi lebih rendah daripada menonton televisi, terutama yang dilakukan oleh siswa perempuan kelas 1-2 dan siswa laki-laki kelas 3-6. Berdasarkan kekerapannya diketahui bahwa membaca buku jenis fiksi, informasi dari koran, majalah, dan internet cenderung dilakukan sekali-sekali saja, dengan porsi yang lebih rendah daripada menonton televisi.  
(4) Keterbacaan buku teks pelajaran berstandar bergantung pada keterpahaman kosakata, kalimat, paragraf dan jenis bacaan yang digunakan; kemenarikan penyajian buku tersebut; dan kemudahan menggunakan sistematika penyajian materi.
(a) Keterpahaman kosakata dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh seringnya kosakata tersebut didengar dan sudah dikenal oleh siswa. Keterpahaman kalimat dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh tingkat keintiman dan kesederhanaan kalimat tersebut bagi siswa, jika kalimat-kalimat dalam buku teks sudah sering dikenal oleh siswa atau disajikan dengan susunan yang sederhana maka keterbacaan buku teks pelajaran tersebut semakin tinggi. Keterpahaman paragraf dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh letak pikiran utama atau gagasan pokok yang disajikan pada awal paragraf dan ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Keterpahaman teks atau bacaan buku berstandar pada umumnya tinggi, karena menggunakan jenis wacana narasi, eksposisi, dan argumentasi. Keterpahaman bacaan dalam buku teks pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) tinggi jika menggunakan jenis wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi.
(b) Kemenarikan penyajian buku-buku teks pelajaran berstandar adalah sangat tinggi, karena menggunakan gambar atau ilustrasi yang memperjelas isi materi yang disajikan dan menggunakan huruf atau bacaan yang jelas dan terbaca, serta bahasa yang mudah dipahami. Buku teks pelajaran yang menggunakan bahasa yang mudah dipahami, menggunakan jilid atau gambar berwarna, menggunakan gambar dan ilustrasi yang dapat memperjelas isi, serta menggunakan huruf yang terbaca dan jelas memiliki daya tarik yang menentukan keterbacaan buku tersebut. 
(c) Kemudahan dalam memahami sistematika penyajian pun turut menentukan keterbacaan buku teks pelajaran berstandar. Kemudahan dalam memahami itu karena penyajian suatu materi tersebut disertai gambar, dikaitkan dengan pengetahuan siswa, dan disesuaikan dengan pengalaman siswa sebagai pengguna buku. 
(5) Keterbacaan buku teks pelajaran sekolah dasar berstandar berdasarkan penilaian guru yang dihubungkan dengan pembelajaran, diketahui memiliki keterbacaan tinggi (3,58 dari 5,0). Pada umumnya buku teks pelajaran belum dilengkapi dengan panduan pendidik dan buku kerja sebagai pendukung bagi kegiatan pembelajaran. 

G. Rekomendasi
Berdasarkan simpulan di atas, pada bagian ini disampaikan rekomendasi sebagai berikut:
(1) Untuk meningkatkan keterbacaan buku teks pelajaran, selain perlu dilakukan peningkatan kualitas keterbacaan buku teks pelajaran berstandar, diperlukan pula peningkatan kualitas profil membaca siswa. Oleh karena itu, seharusnya guru selalu memotivasi siswa untuk selalu membaca setiap hari, baik yang berhubungan dengan materi pelajaran maupun untuk mencari informasi dari koran, surat kabar, maupun internet. Dalam rangka meningkatkan intensitas membaca buku-buku cerita (fiksi), sebaiknya guru menyampaikan manfaat yang dapat diraih jika siswa melakukan kegiatan membaca jenis teks tersebut.
(2) Dalam rangka mengurangi porsi menonton televisi dengan kegiatan membaca siswa seharusnya setiap hari siswa dibekali kuis, latihan, atau kegiatan yang dapat mendorong mereka meningkatkan porsi membaca sehingga profil membaca para siswa sekolah dasar semakin baik.
(3) Untuk meningkatkan keterbacaan buku teks pelajaran sekolah dasar berstandar sebaiknya jika penulis atau penerbit buku teks akan melakukan revisi buku tersebut dapat mengganti penggunaan kosakata yang jarang didengar dan belum dikenal oleh siswa; mengganti penggunaan kalimat yang belum intim dengan siswa dan kalimat yang kompleks; menata kembali paragraf-paragraf yang dapat diubah menjadi paragraf deduktif dan melengkapinya dengan gambar dan ilustrasi; menyesuaikan bentuk wacana dengan jenis wacana yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa.  
(4) Dalam upaya meningkatkan keterbacaan buku teks pelajaran dapat dilakukan penulis atau penerbit dengan menggunakan gambar atau ilustrasi yang memperjelas isi materi yang disajikan, menggunakan huruf atau bacaan yang jelas dan terbaca, dan bahasa yang mudah dipahami siswa. Selain itu, dalam menata sistematika penyajian, sebaiknya penyajian suatu materi disertai gambar, dikaitkan dengan pengetahuan siswa, dan disesuaikan dengan pengalaman siswa agar dapat meningkatkan keterbacaan buku tersebut.

Dari penelitian ini dapat disampaikan pula rekomendasi hasil penelitian sebagai berikut:
(1) Dalam rangka meningkatkan penggunaan buku teks pelajaran berstandar oleh guru maka direkomendasikan agar penerbit melengkapi buku teks dengan panduan pendidik dan memberikan kejelasan tentang kelengkapan buku kerja yang perlu disiapkan dalam pembelajaran. 
(2) Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen untuk siswa, yaitu untuk siswa kelas 1-2 dan kelas 3-6 namun terdapat kendala ketika pengguna instrumen mengukur siswa kelas 1-2 yang masih belum dapat membaca. Demikian pula, ketika melakukan penelitian, pada sekolah tertentu para siswa dibantu guru dalam memberikan jawaban, padahal seharusnya guru hanya bertugas mengarahkan siswa kelas rendah dalam menentukan jawaban yang dimaksudkan siswa. Oleh karena itu untuk penelitian berikutnya direkomendasikan agar instrumen untuk siswa perlu lebih disederhanakan lagi, disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan siswa kelas rendah. Instrumen tentang profil membaca siswa perlu disederhanakan lagi dengan tingkat keragaman dan kekerapan yang lebih rasional. 
(3) Data tentang penilaian guru terhadap buku teks pelajaran sekolah dasar berstandar masih kurang komprehensif. Keterbatasan ini terjadi karena sebaran buku teks pelajaran tersebut tidak menyeluruh pada seluruh wilayah yang dijadikan sebagai subjek penelitian. Penilaian guru terhadap buku teks cenderung subjektif dengan sumber data terbatas sehingga diperlukan penelitian lanjutan dengan menambah keragaman buku teks berstandar dan jumlah guru yang menggunakan buku tersebut. Oleh karena itu, direkomendasikan agar penelitian selanjutnya dapat meningkatkan keragaman buku teks pelajaran berstandar yang dinilai oleh guru. 
(4) Dalam penelitian ini masih belum banyak mendapatkan informasi yang berhubungan dengan interaksi pembaca dengan bacaan. Oleh karena itu, direkomendasikan penelitian lanjutan dengan meningkatkan kadar kajian pada interaksi tersebut yang meliputi kajian terhadap tingkat pengenalan kata (word recognising), pemahaman (understanding) terhadap aspek bahasa buku (wacana, paragraf, kalimat, kata), kemudahan (easily) memahami pesan, kemenarikan (interesting) aspek grafika buku (gambar, warna, sajian/lay out) dan tanggapan (responding) peserta didik dalam membaca buku teks pelajaran sebagai sumber belajar dan pembelajaran. 

 
DAFTAR PUSTAKA

Altbach, P.G. et.al. 1991. Textbooks in American Society: Politics, Policy, and Pedagogy. Buffalo: SUNY Press.
Alwasilah, A. Chaedar & Suhendra Yusuf. 2004. Model Buku Bahasa Inggris SMP. Naskah pada Pusat Perbukuan. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Alwasilah, A. Chaedar & Suhendra Yusuf. 2004. Pedoman Penulisan Buku Bahasa Inggris SMP/SMA. Naskah pada Pusat Perbukuan. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Bern, M. 1990. Contexts of competence: social and cultural considerations in communicative language teaching. New York: Plenum Press.
Bernhardt, E.B. 1991. Reading development in a second language: Theoretical, empirical, and classroom perspectives. Norwood, NJ: Ablex.
Birckbichler, D. 1990. New perspectives and new directions in foreign language education. Lincolnwood, Illinois: NTC Publishing Group.
Blau, E.K. 1982. The effect of syntax on readability for ESL students in Puerto Rico. TESOL Quarterly, 164, 517-528.
British Council. 1995a. Education in Indonesia. Jakarta: The British Council.
Canale, Michael & Merril Swain. 1980. Approaches to communicative competence. Singapore: SEAMEO Regional Language Center.
Chall, J.S. & Dale, E. 1995. Readability revisited: the new Dale-Chall readability formula. Cambridge, Massachusetts: Brookline Books.
Connor, U. 1984. Recall of texts: Differences between first and second language readers. TESOL Quarterly, 18, 239-255.
Davison, A. & Green, G.M. Eds. 1988. Linguistic complexity and text comprehension: Readability issues reconsidered. Hillsdale, N.J.: Lawrence Erlbaum
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Menuju Pendidikan yang Bermutu & Merata. Laporan Komisi Nasional Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Inggris. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional. 2004a. Keterampilan Dasar untuk Hidup. Literasi Membaca, Matematika, & Sains. Laporan Program for International Student’s Assessment. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian & Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional.
Forrester, M.A. 1996. Psychology of language: a critical introduction. London: sage Publication.
Goodman, K.S. 1982. Reading: A psycholinguistic guessing game. In K.S. Goodman, Language and literacy: The selected writings of Kenneth S. Goodman Vol. 1, pp. 173-183. Boston: Routledge & Kegan Paul. 
Gilliland, John. 1972. Readability. London: Holder and Stroughton. 

Hamied, Fuad Abdul. 1995. “Teori Skema dan Kemampuan Analisis dalam Bahasa Indonesia” dalam PELLBA 8. Kanisius: Jogyakarta.
Harrison, C. 1980. Readability in the classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Hill, C.A. & Parry, K.J. 1989. Autonomous and pragmatic models of literacy: Reading assessment in adult education. Linguistic and Education, 1, 233-283.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, 1994.
Klare, G.R. 1984. Readability: Handbook of Reading Research. New York: Longman Inc.
Krashen, S.D. 1985. The input hypothesis: Issues and implications. London: Longman.
McWhorter, K.T. 1997. Guide to college reading. New York: Longman.
Oller, J.W., Jr. 1979. Language test at schools: A pragmatic approach. London: Longman
Parry, K. J. 1993. The social construction of reading strategies. Journal of Research in Reading, 16, 148-158.
Piaget, Jean. 2002. Genetic Epistemology. [tersedia] http://tip.psychology.org. (29 Desember 2002).
Pusat Perbukuan. 2004. Model Buku Pelajaran Bahasa Inggris. Depdiknas: Pusat Perbukuan.
Pusat Perbukuan. 2002. Pedoman Pengembangan Standar Perbukuan. Departemen Pendidikan Nasional.
Ruiz-Funes, M. 1999. Writing, reading, and reading-to-write in a foreign language: A critical review. Foreign Language Annals, 32, No. 4. Pp. 514-526.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.

Rusyana, Yus dan Suherli (2004) Studi Keterbacaan Buku Pelajaran Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.

Schrock, Kathleen. 1995. Elementary Reading Instruction. The McGraw-Hil Company. [tersedia] http://school.discovery.com (6 Sept 2003)
Smith, F. 1986. Understanding reading: A psycholinguistic analysis of reading and learning to read. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. 
Supriadi, D. 2000. Anatomi Buku Sekolah di Indonesia: Problematika Penilaian, Penyebaran, dan Penggunaan Buku Pelajaran, Buku Bacaan, dan Buku Sumber. Yogyakarta: Adicita.
Swaffar, J.K., Arens, K.M. & Byrnes, H. 1991. Reading for meaning: An integrated approach to learn language. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Suryaman, Maman. 2002. Model Pembelajaran Membaca Berbasis Bacaan. (Disertasi). Bandung: Program Pascasarjana.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Keterampilan Membaca. Bandung: PT Angkasa.

Warriner, 1970. English Grammar and Composition. New York: Harcourt, Brace and world Inc. 

Weaver Richard, 1979. Composition. New York: Holt. Pinahart and Winston.
Tampobolon. 1991. Mengembangkan Minat dan Kebiasaan Membaca pada Anak.Bandung: Angkasa.
Wassman, R. & Rinsky, L.A. 2000. Effective reading in a changing world. NJ: Prentice Hall.
Whitney, P., Ritchie, B.G., & Clark, M.B. 1991. Working memory capacity and the use of elaborative inferences in text comprehension. Discourse Processes, 14, 133-146. 
World Bank. 1995. Indonesia: Book and Reading Development Project. Staff Appraisal report.


Studi Keterbacaan Buku Teks SD


Oleh Dr.H.Suherli,M.Pd.

BAB 1 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 
Bahasa Indonesia adalah alat untuk berkomunikasi. Sejak Indonesia merdeka Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Upaya pemerintah dalam membina bahasa Indonesia adalah melakukan pengembangan terhadap bahasa Indonesia agar dapat menjadi bahasa ilmiah, sebagaimana juga bahasa Inggris, Jerman, dan bahasa Prancis. Pembinaan yang dilakukan pemerintah adalah memposisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah bersejajar dengan bahasa asing lain yang sudah mantap.
Dalam kenyataan sehari-hari, masih banyak anggota masyarakat yang belum memahami penggunaan bahasa Indonesia secara benar, baik dalam ragam lisan maupun dalam ragam tertulis. Dalam penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, masih terdapat sebagian masyarakat Indonesia yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (second language), setelah bahasa ibu (mother tongue) sekalipun dilakukan dalam situasi komunikasi formal. Kenyataan ini berdampak pada penyampaian pesan dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan sering kali mengalami kesulitan dalam pemahaman. 
Kemampuan berbahasa Indonesia pada umumnya dilakukan sebagian masyarakat Indonesia melalui pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Para siswa mempelajari bahasa Indonesia sejak ia bersekolah di Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Kenyataan ini memposisikan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah memiliki peran yang sangat berarti dalam mengembangkan kemampuan para siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia. Namun, Badudu (1993: 91) mengemukakan bahwa hasil pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah belum memuaskan, karena para siswa belum memiliki keterampilan berbahasa Indonesia sebagaimana yang diharapkan.
Berdasarkan konsep pendekatan komunikatif, bahwa bahasa Indonesia diajarkan kepada para siswa bukan sebagai ilmu bahasa melainkan sebagai sebuah keterampilan yang disajikan melalui pembelajaran menggunakan bahasa. Pembelajaran menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi itu meliputi keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan ini merupakan kemampuan utama yang harus dimiliki siswa setelah mengikuti pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. 
Salah satu kemampuan yang penting untuk dikembangkan kepada para siswa adalah kemampuan membaca pemahaman. Kemampuan ini meliputi pengembangan kemampuan menyerap gagasan, pendapat, pengalaman, pesan, dan perasaan terdapat dalam suatu tulisan berbentuk wacana. Pada umumnya buku-buku teks pelajaran disajikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, melalui penguasaan keteterampilan ini diharapkan siswa memiliki kemampuan memahami berbagai jenis penyajian suatu tulisan yang disajikan dengan menggunakan bahasa Indonesia pada buku-buku pelajaran.  
Ketersediaan buku pelajaran yang bermutu dan mudah dipahami merupakan tuntutan yang harus dipenuhi dalam meningkatkan pencapaian tujuan pendidikan di Indonesia. Meskipun materi yang akan disajikan bermutu tetapi bahasa yang digunakan dalam buku pelajaran tersebut sulit dan tidak dapat dipahami siswa maka materi pelajaran tersebut menjadi kurang berkualitas, sehingga tujuan pembelajaran menjadi sulit pula untuk dicapai. Oleh karena itu, buku-buku pelajaran di sekolah seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang mudah dipahami oleh para siswa dan dapat digunakan oleh para guru dalam pembelajaran agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Hampir semua guru menggunakan buku pelajaran sebagai sumber utama dalam pembelajaran. Berbagai jenis buku pelajaran telah diterbitkan oleh pemerintah maupun swasta dijadikan sebagai buku sumber pembelajaran kepada siswa. Di antara buku-buku terbitan swasta tersebut terdapat buku-buku yang telah mendapat rekomendasi dari Deparartmen Pendidikan Nasional untuk digunakan sebagai bahan pembelajaran di sekolah. Namun demikian, tidak berarti dengan serta merta buku-buku yang telah direkomendasi tersebut dianggap telah memiliki kualitas sebagai buku pelajaran dan dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran di sekolah. 
Pusat perbukuan memiliki kewenangan sebagai lembaga yang mengendalikan kualitas buku pelajaran. Seiring dengan konsep desentralisasi dalam bidang pendidikan, Pusat Perbukuan tidak lagi memiliki kewenangan sebagai lembaga tunggal yang menyediakan buku-buku pelajaran sebagai buku paket di sekolah, melainkan diubah dalam bentuk dekonsentrasi penyediaan buku-buku pelajaran sesuai dengan pilihan stakeholders suatu sekolah. Sekolah diberi kewenangan untuk memilih salah satu dari beberapa buku pelajaran yang telah ditetapkan sebagai buku yang memiliki kualitas oleh Pusat Perbukuan. Salah satu penentu kualitas suatu buku pelajaran adalah keterbacaan (readability) buku tersebut. Oleh karena itu, sebagai bentuk pengembangan dan pengendalian mutu buku pelajaran yang digunakan oleh sekolah, Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional perlu melakukan penelitian yang berhubungan dengan keterbacaan buku-buku pelajaran. Pada tahun 2003 buku-buku pelajaran yang diteliti adalah buku pelajaran yang digunakan oleh siswa Sekolah Dasar.  
   
   

1.2 Tujuan dan Manfaat Kajian
1.2.1 Tujuan Kajian
Kajian keterbacaan yang dilakukan oleh Pusat Perbukuan dilakukan dengan tujuan:
1) Mendapatkan gambaran yang jelas tentang ciri-ciri buku pelajaran yang dapat dikategorikan sebagai buku yang memiliki keterbacaan tinggi;

2) Mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentang hal-hal yang dapat dianggap berpengaruh terhadap keterbacaan buku pelajaran yang digunakan di Sekolah Dasar;

1.2.2 Manfaat Kajian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh Pusat Perbukuan dari kajian ini adalah:
1) Dapat memberikan masukan kepada para penulis buku pelajaran untuk mempertimbangkan keterbacaan buku pelajaran sehingga buku yang diterbitkan merupakan buku yang berkualitas;
2) Dapat memberikan masukan kepada para penulis buku pelajaran untuk memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan buku pelajaran;
3) Dapat menetapkan kriteria yang harus diperhatikan para penilai buku pelajaran dalam menentukan kualitas keterbacaan suatu buku pelajaran;  


1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang diungkapkan di muka, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1) Apakah ciri-ciri penting dari suatu buku yang ditetapkan sebagai buku pelajaran yang memiliki keterbacaan tinggi?
2) Jenis pengukuran keterbacaan manakah yang dapat digunakan dalam menentukan keterbacaan suatu buku pelajaran untuk sekolah dasar?
Rumusan ini dirinci lagi ke dalam sub-sub masalah sebagai berikut:
(1) Apakah pengukuran keterbacaan berdasarkan kesesuaian bacaan dengan usia baca siswa dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan buku pelajaran sekolah dasar? 
(2) Apakah pengukuran keterbacaan yang ditetapkan dari pengukuran ahli memiliki ketepatan dengan keterbacaan buku pelajaran?
(3) Apakah keterbacaan yang diperoleh berdasarkan pemahaman siswa terhadap bacaan memiliki kesesuaian dengan hasil pengukuran lain? 
3) Hal-hal apakah yang berpengaruh terhadap keterbacaan suatu buku pelajaran Sekolah Dasar?
 

1.4 Kerangka Pemikiran
Peristiwa membaca yang dilakukan seseorang akan bertemali dengan aspek (1) pembaca; (2) bacaan; dan (3) latar (Rusyana, 1984: 213). Ketiga komponen tersebut akan dapat menerangkan keterbacaan, termasuk pula keterbacaan buku pelajaran. Oleh karena itu, studi tentang keterbacaan yang komprehensif dalam penelitian ini dilakukan dalam lingkup ketiga aspek tersebut. Dalam penelitian ini bahan bacaan diukur keterbacaannya berdasarkan formula yang menetapkan kesesuaian bacaan dengan usia baca sehingga diperoleh gambaran keterbacaan. Selanjutnya, bahan bacaan dianalisis berdasarkan bahasa yang digunakan dan isi (pesan materi) sehingga diperoleh deskripsi suatu teks untuk selanjutnya dapat ditelaah oleh peneliti keterbacaannya. Dari deskripsi teks tersebut, selanjutnya disusun model-model suatu teks berdasarkan deskripsi teks dan dapat mewakili teks berdasarkan deskripsi sehingga diperoleh model-model teks untuk diujikan keterbacaannya kepada siswa. Berdasarkan ketiga informasi tersebut, maka dapat ditetapkan keterbacaan buku pelajaran.
Berdasarkan uraian ini maka studi keterbacaan ini dilakukan berdasarkan kerangka pikir penelitian sebagai berikut:



BAB 2
KETERBACAAN

2.1 Keterampilan Membaca
 Keterbacaan dalam istilah bahasa Inggris disebut readablitity. Pembahasaan keterbacaan akan selalu berhubungan dengan membaca. Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa, di samping keterampilan menyimak, berbicara, dan menulis. Keempat keterampilan ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tarigan (1984) menyatakan bahwa keterampilan ini merupakan keterampilan catur tunggal, artinya empat tetapi satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Membaca merupakan kegiatan memaknai lambang-lambang bunyi atau lambang ortografi tertulis dalam kegiatan berbahasa. Pemaknaan ini akan dapat diwujudkan jika seseorang terlebih dahulu memahami fonologis dari lambang tersebut dan memahami makna morfologis dalam kaitan untaian kata pada suatu tata kalimat. 
 Secara hierarkis keterampilan membaca dimiliki seseorang bertolak dari keterampilan dasar lain, yaitu menyimak dan berbicara. Keterampilan membaca dibangun oleh kerangka pemahaman aspek kebahasaan yang diperolehnya dari aktivitas menyimak yang dilakukan. Kadar kemampuan ini dibangun pula oleh aktrivitasnya dalam berbicara, sehingga fondasi awal tersebut bertemali secara erat dalam membentuk keterampilan membaca seseorang. Namun demikian, terdapat aspek yang sangat dominan dalam menentukan keterampilan membaca seseorang, yaitu pembelajaran memaknai lambang-lambang. Seseorang yang tidak mengalami pembelajaran memaknai lambang-lambang akan bertumpu pada kemampuan menyimak dan berbicara, sebagai bagian dari pemerolehan bahasa (language acquisition) . Oleh karena itu, pembahasan membaca dan menulis sering difokuskan pada dunia pendidikan karena dalam kedua aktivitas tersebut banyak dilakukan dalam pembelajaran bahasa (language learning). Dari pandangan tersebut berimplikasi pada kajian keterbacaan yang cenderung dilakukan dalam kaitannya dengan pembelajaran atau dunia pendidikan.
 Seseorang yang memiliki keterampilan membaca akan beragam. Kemampuan tersebut bergantung pada pemahaman aspek kebahasaan lain yang ditentukan pula oleh usia pendidikan, aktivitas, pengalaman, dan motivasi dalam melakukan kegiatan membaca. Dalam pandangan ini maka membaca merupakan interaksi antara kemampuan membaca seseorang dengan bacaan. Bacaan akan memantulkan makna dan pembaca akan memaknai bacaan atas dasar latar belakang pembaca yang dipengaruhi oleh aspek-aspek yang berhubungan dengan pembaca. Pembaca akan memaknai bacaan sesuai dengan pemahaman kata dan maknanya atau bergantung pada word recognition yang dimilikinya. Dengan demikian, pembaca akan melakukan pengenalan kosakata (word recognition) pada saat melakukan kegiatan membaca yang dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan (backround knowledge) yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam kegiatan membaca seseorang bukan hanya harus memiliki kapasitas mengerti makna konseptual dari tulisan atau lambang bunyi, melainkan harus memiliki pula kemampuan berpartisipasi aktif secara penuh dalam menerapkan pemahaman sosial dan intelektual (White, 1985:56) yang merupakan backround knowledge seseorang.


2.2 Pembaca
 Dalam memperbincangkan keterbacaan, tentu saja akan bertemali antara bacaan dengan pelaku membaca. Aspek ini akan sangat menentukan pada materi bahan bacaan, jenis bacaan, kadar kesulitan bacaan, dan karakteristik penyajian bacaan. Oleh karena itu perlu pembahasan yang berhubungan dengan pembaca, baik ditinjau dari segi usia pendidikan, aktivitas, kemampuan, dan motivasi pembaca akan menentukan kegiatan membaca. 
  
2.2.1 Usia Pendidikan Pembaca
Secara umum klasifikasi usia pembaca dapat dikelompokkan ke dalam usia kanak-kanak, remaja, dewasa, dan lanjut usia (Suryaman, 2002). Berdasarkan klasifikasi ini yang dihubungkan dengan masa-masa pendidikan maka usia pendidikan pembaca dapat digolongkan ke dalam usia pembaca siswa SD, SLTP, SLTA, dan mahasiswa. Usia pendidikan ini akan mempengaruhi kegiatan membaca yang dilakukan dan berhubungan pula dengan keterbacaannya.
Berdasarkan klasifikasi struktur kognitif yang didasarkan pada pola tindakan mental dari perkembangan anak, maka dapat dikelompokkan ke dalam empat struktur kognitif utama sebagaimana tahapan yang diungkapkan Piaget (1977), yaitu sensorimotor, preoperations, concrete operations, dan formal operations. Pada tahap sensorimotor (0-2 tahun) kemampuan anak berbentuk tindakan-tindakan motorik; tahap preoperations (3-7 tahun) bersifat intuitif atau insting, tahap concrete operation (8-11 tahun) kemampuan logis yang berdasarkan pada rujukan konkret, dan tahap formal operations (12-15 tahun) merupakan kemampuan berpikir abstrak. Berdasarkan hal ini maka usia pembaca siswa SD yang berkisar antara usia 7-13 tahun terkelompokkan pada kemampuan (1) berpikir logis (kelas 1 sampai dengan kelas 4) dan berpikir abstrak (kelas 5 sampai dengan kelas 6). Namun demikian karena kebervariasian kemampuan yang terdapat pada siswa SD kelas 1, maka sebagian ahli ada yang menyatakan bahwa kemampuan mereka masih pada kemampuan berpikir yang bersifat intuitif. Dengan demikian deskripsi kemampuan siswa Sekolah Dasar di Indonesia pada tahap berpikir intuitif, berpikir logis dengan rujukan konkret, dan berpikir abstrak. 
Usia pendidikan siswa kelas satu Sekolah Dasar berada pada persimpangan berpikir intuitif menuju kemampuan berpikir logis dengan rujukan yang konkret. Kemampuan membaca mereka akan menghubungkan kemampuan intuisinya dengan kemampuan logika yang berdasarkan pada aspek-aspek yang teramati secara konkret. Siswa kelas satu SD akan lebih akrab dengan bacaan yang menyajikan gambar-gambar dari dunia mereka. Siswa kelas dua dan tiga SD telah lengkap pada kemampuan berpikir logis yang merujuk pada hal-hal yang bersifat konkret. Sedangkan siswa kelas empat sampai dengan kelas enam memiliki kemampuan transisi dari berpikir logis dengan rujukan konkret menuju kemampuan berpikir abstrak. Oleh karena itu bahan bacaan bagi mereka perlu disajikan dengan gambar yang bergeser dari bentuk-bentuk gambar konkret menuju gambar abstrak.  

2.2.2 Kemampuan Pembaca Memahami Bacaan
Kemampuan pembaca dalam memahami bacaan memiliki keterhubungan dengan kemampuan berbahasa. Lingkup kemampuan tersebut berhubungan dengan kompetensi komunikatif yang dimiliki siswa sebagai pembaca. Oleh karena itu setiap pembaca harus mempunyai kemahiran berbahasa (Rusyana, 1984:208). Untuk menjadi pembaca yang baik, diperlukan penguasaan kosakata yang beragam, luas, dan cermat; memiliki kemampuan pemahaman terhadap kalimat yang merefleksikan makna; serta pemahaman pikiran, perasaan, dan khayal yang terkandung pada setiap paragraf dan pada wacana secara keseluruhan (Suryaman, 2002). Namun demikian kemampuan tersebut akan sangat bergantung pada usia pendidikan pembaca, sehingga pembahasan kedua hal tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan.
 Demikian pula dengan kompetensi komunikatif sebagaimana diungkapkan di muka. Dalam pandangan teori pembelajaran mentalistik dinyatakan bahwa kemampuan akan tercapai jika memperhatikan kompetensi komunikatif. Membaca merupakan bagian dari keterampilan berbahasa. Seorang pembaca akan melakukan tindak komunikasi antara pembaca dengan bacaan. Oleh karena itu, kompetensi komunikatif menjadi sesuatu yang mendasar bagi penentuan keberhasilan seseorang dalam melakukan kegiatan membaca atau dengan istilah singkat keterbacaan. 
Salah satu kompetensi komunikatif yang sangat berhubungan dengan keterbacaan adalah kompetensi menggunakan bahasa untuk komunikasi aktif. Kompetensi ini meliputi kemampuan memahami dan menggunakan kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana untuk tindak kominikasi secara aktif. Kemampuan tersebut merupakan suatu sistem kemampuan yang sangat mendasar dari pengetahuan dan keterampilan yang menjadi syarat untuk tindak komunikasi. Kompetensi tersebut meliputi kemampuan menggunakan bentuk-bentuk linguistik dalam mendukung kegiatan komunikatif dalam memahami keterkaitan antara suatu kalimat dengan kalimat lain (Suryaman, 2002). Apabila ditelaah lebih mendalam kompetensi tersebut meliputi komponen kompetensi gramatikal dan kompetensi wacana (Canala dalam Richards dan Schidt, 1984:7). Kompetensi gramatikal berhubungan erat dengan penguasaan sandi bahasa, baik secara verbal maupun nonverbal. Oleh karena itu kompetensi tersebut termasuk di dalamnya adalah ciri dan kaidah bahasa seperti kosakata, pembentukan kata, pembentukan kalimat, ejaan, ucapan, dan semantik. Kompetensi ini secara langsung terfokus pada pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memahami dan mengekspresikan secara tepat makna harafiah ucapan-ucapan atau tulisan sebagai pelambangannya. Hal-hal yang tercakup ke dalam kompetensi gramatikal adalah fonologi, ortografi, kosakata, pembentukan kata, dan pembentukan kalimat (Suryaman, 2002).  
Sementara itu, kompetensi wacana memiliki keterhubungan dengan penguasaan memahami penggabungan bentuk-bentuk dan makna-makna gramatikal dalam teks lisan atau tulisan yang terpadu dalam berbagai jenis wacana. Kemampuan ini bertemali pula dengan kemampuan dalam memahami kesatuan gagasan suatu teks yang diperoleh dari kohesivitas dalam bentuk dan koherensi dalam makna. (Canala dalam Richards dan Schidt, 1984:23-24; Weaver, 1979; Warriner, 1970). Kompetensi wacana merupakan kemampuan tertinggi dalam memahami suatu bacaan secara menyeluruh, sehingga kompetensi ini menentukan kajian keterbacaan.


2.2.3 Kegiatan dan Pengalaman Pembaca dalam Membaca
 Aspek yang harus diperhatikan dalam pembahasaan keterbacaan dari aspek pembaca adalah kegiatan dan pengalaman pembaca dalam melakukan kegiatan membaca. Membaca adalah proses pengenalan simbol-simbol yang berlaku sebagai perangsang untuk pemunculan dan penyusunan makna, disertai dengan penggunaan makna yang dihasilkan itu sesuai dengan tujuan pembaca, dan sebagai hasilnya adalah penerapan makna itu pada tujuannya (Harrison dalam Rusyana, 1984:212). Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa pada waktu seseorang melakukan kegiatan membaca, maka seorang pembaca dituntut oleh tujuan kegiatan membaca. Seorang pembaca akan memilih bacaan sesuai dengan tujuan membaca dan menyusun kegiatan tersebut sesuai dengan tujuan membaca. Oleh karena itu kegiatan membaca yang dihubungkan dengan tujuan membaca akan memunculkan klasifikasi membaca ke dalam membaca pemahaman. Untuk memenuhi tujuan membaca yang dilakukan sebagai kegiatan membaca pemahaman, maka seseorang akan melakukan membaca dengan berbagai cara, ada yang melakukannya secara senyap atau membaca dalam hati atau melakukannya secara nyaring untuk memberikan penekanan pada pemahaman makna bacaan.  
 Kegiatan membaca bagi siswa Sekolah Dasar akan berhubungan dengan lingkup bacaan yang sesuai dengan latar belakang pembacanya. Bacaan yang sering dibaca siswa dalam kaitannya dengan tujuan belajar adalah buku-buku pelajaran. Buku pelajaran seharusnya menyesuaikan dengan perkembangan kemampuan pembacanya agar kegiatan membaca yang dilakukan mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan sesbagai tujuan membaca.  
Dalam kegiatan membaca terdapat keterhubungan yang signifikan dengan latar membaca. Secara umum latar membaca dilakukan seseorang pada tempat dan waktu yang memungkinkan terjadi kegiatan membaca. Kegiatan membaca pada umumnya terjadi di rumah, di sekolah, di perpustakaan, dan berbagai tempat lainnya (Rusyana, 1984:212-213). 
 Aspek lain yang memiliki kaitan erat dengan kegiatan membaca adalah pengalaman membaca. Pada saat seseorang membaca, rangsangan bacaan menyebabkan terpanggilnya makna yang berasal dari pengalamannya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Harrison (dalam Rusyana, 1984:208) bahwa seseorang membaca dengan sesuatu yang telah dialaminya. Untuk dapat membaca dengan baik, seseorang harus mempunyai bidang konsep-konsep yang luas yang berguna untuk menyusun makna yang seksama dan lengkap, yang ada dalam pengalamannya (Rusyana, 1984:208). Kegiatan menyusun seperangkat pengalaman ini oleh Ausubel sebagai ahli psikologi disebut advance organizers (Biehler, 1978:297 dan Hamied, 1995:89). Proses penggunaan pengalaman dalam membaca tersebut dilakukan dengan menggunakan penyimpanan bahan verbal yang bermakna, pengalaman atau gagasan yang telah diketahui berpadu dengan pernyataan baru dalam bacaan. Artinya, pembaca harus menyadari aspek mana dari pengetahuan yang telah dimiliki itu bertemali dengan pengetahuan yang tertera di dalam bacaan. 
 Dalam pandangan pendidikan, pengalaman membaca seseorang dipengaruhi oleh pembentukan struktur pengetahuan yang dibangun melalui berbagai bentuk pengalaman yang dialami pembelajar. Oleh karena itu, pada saat seseorang membaca ia mencoba membentuk pola gagasan-gagasan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya (Hamied, 1995:91). Bacaan yang dibacanya hanya merupakan perangsang dalam membentuk gagasan yang berhubungan dengan pengalaman seseorang. 
Dalam pandangan psikolinguistik, kegiatan membaca adalah interaksi antara penulis dengan pembaca. Kegiatan membaca menurut Goodman (dalam Hamied, 1995:92) dilakukan melalui tahap representasi aspek kebahasaan yang disusun oleh penulis dan berakhir dengan tahap kontruksi makna yang dilakukan pembaca. Penulis memberikan pengkodean pikiran dalam bentuk bahasa dan pembaca mengkodekan bahasa ke dalam pikirannya. Oleh karena itu, pembaca yang baik adalah pembaca yang efektif dalam mengkonstruksikan makna yang sesuai dengan makna asal yang dimaksudkan oleh penulis. Dari penjelasan tersebut dapat dikemukakan bahwa pengetahuan yang telah dimiliki itu disebut pengetahuan latar belakang (background knowledge), dan struktur-struktur dan pengetahuan yang telah dimiliki itu disebut skema. Menurut teori skema memahami sebuah bacaan merupakan proses interaktif antara pengetahuan latar belakang pembaca dengan bacaan. Dalam konteks ini maka pengetahuan latar siswa ini adalah perkembangan intelektual siswa yang berhubungan dengan pengalaman siswa dalam membaca. 

2.2.4 Motivasi dan Minat Pembaca
Motivasi dan minat pembaca berpengaruh terhadap proses membaca. Setiap orang mempunyai kebutuhan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya itu, antara lain melalui kegiatan membaca. Bacaan yang dipilih seorang pembaca adalah bacaan yang diminati, yaitu bacaan yang mempunyai hubungan atau kepentingan dengan diri pembaca. Minat yang berkenaan dengan bacaan terutama adalah minat sosial budaya, yang timbul sebagai hasil pendidikan. Minat jenis ini, yaitu minat yang luas dan mendalam terhadap hal-hal yang bermanfaat, merupakan ciri keterpelajaran seseorang (Rusyana, 1984:208). Sekalipun motivasi dan minat berpengaruh terhadap proses membaca, namun faktor ini akan dipengaruhi juga oleh hakikat, kualitas, dan sumber minat serta motivasi seseorang terhadap bacaan (Gilliland, 1972:22). Bacaan yang berhubungan dengan motivasi dan minat siswa akan memiliki kadar keterbacaan lebih bagus daripada tidak ada hubungannya sama sekali.


2.3 Bahan Bacaan
Bahan bacaan merupakan aspek yang berhubungan dengan penggunaan bahasa secara tertulis. Bahan bacaan menyajikan lambang-lambang grafis tertulis yang membentuk kata. Kata sebagai bacaan belum memiliki makna utuh jika tidak dituangkan dalam bentuk susunan kata yang membentuk keutuhan kalimat. Keterkaitan antarkalimat dalam susunan yang serasi dan terpadu dapat membentuk paragraf. Paragraf-paragraf yang memiliki kesatuan gagasan jika disusun membentuk wacana. Dengan demikian, pernaharnan atas kata saja tidak mencukupi bagi seseorang dalam membaca karena kata kata yang diwujudkan dalam tulisan tidak berdiri sendiri. melainkan saling berhubungan (Suryaman, 2002). Hubungan itu ditandai oleh terbentuknya kalimat. Sekalipun sebuah kalimat sudah menyampaikan makna tertentu, kalimat dalam bahasa tulis pada umumnya masih harus dijelaskan oleh kalimat kalimat lainnya sebagai kalimat penjelas, yang kemudian membentuk sebuah paragraf.
Sebuah bacaan biasanya mengandung lebih dari sebuah paragraf (Rusyana, 1984:210). Setiap paragraf membicarakan suatu topik pembahasan yang dinamakan dengan pokok paragraf. Pada setiap susunan paragraf, antara pokok paragraf yang satu dengan yang lain terjalin hubungan. Pokok pokok paragraf itu merujuk pada pokok yang lebih besar. Pokok paragraf itu merupakan bagian dari pokok yang lebih besar. Pokok yang lebih besar itu adalah pokok karangan atau dinamakan pula pokok pikiran yang dibangun dalam isi karangan yang dibicarakan dalam sernua paragraf pada karangan itu. 
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dinyatakan bahwa di dalam suatu bacaan paling tidak terdapat dua hal pokok, yakni penggunaan bahasa dan pokok pembicaraan. Di samping itu, bila ditelusuri lebih lanjut, akan tampak pula bahwa bacaan satu dengan bacaan lainnya memiliki susunan yang berbeda. Sebagaimana diungkapkan oleh Rusyana (1984:135, 210) bahwa jika dilihat dari penyajiannya terdapat bacaan atau karangan berjenis kisahan, deskripsi, percakapan, bahasan, dan alasan. Dalam bacaan kisahan atau sering disebut narasi terdapat rangkaian peristiwa yang mengandung pelaku, perilaku, dan latar. Dari segi keterjadiannya dalam ruang dan waktu, kisahan dibedakan atas yang faktual dan rekaan. Bacaan jenis deskripsi terdapat lukisan dari hasil penginderaan, pikiran, perasaan, dan khayal. Deskripsi pun dapat dibedakan menjadi yang faktual dan yang rekaan. Bacaan jenis percakapan atau dialog terdapat kalimat-kalimat ungkapan langsung para pelaku. Jenis bacaan bahasan atau eksposisi terdapat gaya penyajian penulis berupa penjelasan, penguraian, pembandingan, penafsiran, percontohan, dan penilaian terhadap suatu pokok. Jenis bacaan alasan atau argumentasi menyajikan pernyataan-pernyataan berupa alasan untuk membuktikan sesuatu. Namun demikian, jenis-jenis bacaan tersebut dalam pemakaiannya tidak terpisah secara tegas, sebab kadang-kadang beberapa jenis bacaan tersebut digunakan sekaligus. Bahan bacaan yang sering digunakan dalam buku-buku pelajaran Sekolah Dasar adalah jenis narasi, argumentasi, dan deskripsi. 
Bacaan yang digunakan dalam buku pelajaran perlu disusun dengan baik. Penyajian bahan bacaan yang tidak disusun dengan baik akan menyulitkan siswa dalam memahami makna keseluruhan dari suatu bacaan. Bacaan dalam buku pelajaran mengusung materi yang digunakan sebagai bahan dalam kegiatan pembelajaran. Apabila bacaan dalam buku pelajaran dapat dipahami oleh siswa maka muatan materi yang diusungnya pun akan dapat diserap oleh siswa. Pemahaman siswa terhadap bacaan tersebut dapat ditetapkan sebagai bagian penentuan keterbacaan dari suatu bacaan, sebagaimana diungkapkan oleh Lorge (1969:1) yang menyatakan bahwa keterbacaan suatu bacaan dapat diukur berdasarkan keberhasilan sejumlah pembaca dalam memahami isi bacaan. Oleh karena itu, bacaan buku pelajaran Sekolah Dasar seharusnya disajikan dengan baik, sesuai dengan karakteristik pembaca.  

2.4 Formula Pengukuran Keterbacaan

 Banyak ahli yang menyodorkan formula dalam menentukan keterbacaan suatu bahan bacaan. Dari Discovery School (Schrock, 1995), disodorkan beberapa formula pengukuran keterbacaan, misalnya formula Dale-Chall digunakan untuk mengukur pemahaman bahan bacaan berdasarkan penguasaan tingkatan di bawahnya. Formula Flesch Reading Ease digunakan untuk mengukur kematangan bacaan yang ditunjukkan melalui rentang skor dari 0 sampai dengan 100. Formula Flesch Grade Level digunakan untuk mengukur bacaan dari dasar hingga menengah. Formula Fry Graph digunakan untuk menetapkan tingkatan kesesuaian bahan bacaan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Formula FOG digunakan untuk menetapkan dan menjaga penggunaan bahan bacaan dalam suatu penerbitan. Formula Powers-Sumner-Kearl digunakan untuk mengukur keutamaan bacaan melalui tingkatan dasar. Formula SMOG digunakan untuk memprediksi usia baca suatu bahan bacaan secara komprehensif. Formula FORCAST memfokuskan pada pengukuran fungsi literasi (kemelekwacanaan). Formula Spache digunakan untuk mengukur penguasaan kosakata siswa ke dalam empat tingkatan.  
 Formula Fry telah banyak digunakan para guru dalam mengukur keterbacaan suatu tulisan. Formula ini menggunakan Grafik Fry (sebagaimana terdapat dalam gambar 1). Formula yang sejenis dengan ini adalah formula SMOG kependekan dari Simplified Measure of Gobbledygook dari McLaughlin merupakan pengukuran yang cepat, konsisten, dan mudah digunakan untuk membedakan tingkat keterbacaan dari bahan-bahan tertulis. Pengukuran dengan SMOG dipandang mampu mengukur keterbacaan suatu bacaan pada tingkatan terendah. 
 











Formula SMOG merupakan formula yang lebih sederhana dan disesuaikan dengan bacaan buku pelajaran Sekolah Dasar. Buku pelajaran siswa Sekolah Dasar pada umumnya menggunakan bacaan yang sederhana karena dilengkapi dengan gambar-gambar. Berdasarkan hal tersebut maka, formula yang sejalan dengan Fry namun memiliki kesesuaian untuk bacaan siswa Sekolah dasar adalah SMOG. 
Langkah-langkah SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) Test terdapat dua cara, yaitu Cara I (digunakan untuk bacaan panjang yang lebih dari 30 kalimat) dengan tahapan sebagai berikut:
(1) Dari suatu bacaan yang akan diukur dipilih 10 kalimat pada bagian awal, 10 kalimat pada bagian tengah, dan 10 kalimat pada bagian akhir bacaan sehingga diperoleh 30 kalimat;
(2) Menghitung kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih dari seluruh kalimat yang telah dipilih tersebut (dari 30 kalimat);
(3) Jumlah kosakata tersebut digunakan untuk mencari tingkat kesesuaian bacaan dengan usia siswa melalui Tabel Konversi SMOG I sebagai berikut:

Tabel 2:
Nilai Konversi SMOG I

 Jumlah Total Kata yang  3 Sukukata Tingkat Keterbacaan (Usia) Jumlah Total Kata yang  3 Sukukata Tingkat Keterbacaan (Usia)
0 - 2 4 57 - 72 11
3 - 6 5 73 - 90 12
7 - 12 6 91 - 110 13
13 - 20 7 111 - 132 14
21 - 30 8 133 - 156 15
31 - 42 9 157 - 182 16
43 - 56 10 183 - 210 17
  211 - 240 18

 Cara II (digunakan untuk bacaan pendek, yaitu 10 sampai dengan 30 kalimat) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Menghitung jumlah kalimat dalam bacaan tersebut;
(2) Menghitung jumlah kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih;
(3) Menggunakan jumlah kalimat dari bacaan yang diukur untuk menentukan nilai konversi dalam Tabel Konversi SMOG II;
(4) Menjumlahkan kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih dengan nilai konversi untuk menentukan tingkat keterbacaan pada Tabel SMOG I; 
 Berdasarkan langkah-langkah ini maka dapat dinyatakan bahwa cara pertama digunakan jika kalimat yang menjadi sampel pengukuran berjumlah 30 kalimat atau lebih, sedangkan cara kedua dilakukan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang kurang dari 30 kalimat. Cara kedua ini mememerlukan dua tabel konversi.  

Tabel 3:
Nilai Konversi SMOG II

Jumlah Kalimat Nilai Konversi Jumlah Kalimat Nilai Konversi
29 1,03 19 1,58
28 1,07 18 1,67
27 1,1 17 1,76
26 1,15 16 1,87
25 1,2 15 2,0
24 1,25 14 2,14
23 1,3 13 2,3
22 1,36 12 2,5
21 1,43 11 2,7
20 1,5 10 3,0


Pengukuran keterbacaan dengan menggunakan SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) lebih cenderung digunakan untuk mengukur kesesuaian bacaan dengan usia pembaca terutama untuk pendidikan dasar. Formula SMOG dapat digunakan dengan mudah oleh para guru atau penulis buku untuk siswa sebagai pembaca awal. Formula ini dirancang untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang sangat sedikit (minimal 10 kalimat) hingga bacaan yang sangat panjang (yang dilakukan dengan menggunakan sampel). Dengan demikian formula SMOG lebih sesuai digunakan untuk mengukur keterbacaan buku-buku pelajaran untuk siswa Sekolah Dasar.  

 

BAB 3 
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Operasionalisasi Variabel 
 Penelitian keterbacaan buku pelajaran Sekolah Dasar memfokuskan pada kegiatan mengukur keterbacaan buku pelajaran Sekolah Dasar. Oleh karena itu variabel penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu keterbacaan buku-buku pelajaran Sekolah Dasar. Keterbacaan yang dikaji tersebut ditinjau dari aspek bacaan, pembaca, dan latar. Dari bacaan diukur keterbacaannya oleh formula SMOG Test kemudian dianalisis bahasa bukunya berdasarkan ciri-ciri bacaan tersebut, dilihat dari aspek kewacanaan (studi wacana), pembentukan kalimat (sintaksis), dan pembentukan kata (morfologi). Selain itu, dari bacaan dianalisis pula isi atau materi penyajiannya. Dari analisis tersebut dilakukan deskripsi atas karakteristik naskah buku pelajaran Sekolah Dasar. 
Dari aspek latar dilakukan pengukuran keterbacaan oleh peneliti berdasarkan tinjauan ciri bacaan dan isi atau materi yang disajikan. Pengukuran keterbacaan dari aspek latar dilakukan dengan cara menganalisis kesesuaian bahan dan bahasa yang digunakan untuk siswa sekolah dasar. Oleh karena itu, peneliti mengukur keterbacaan buku bacaan pelajaran di sekolah dasar dari latar siswa dengan cara mencermati naskah-naskah dari aspek penyajian bahasa naskah, yang meliputi teks bacaan, perintah-perintah dalam bacaan, pertanyaan bacaan, dan soal atau latihan-latihan yang terdapat dalam bacaan.  
Dari aspek pembaca dilakukan pengukuran pemahaman siswa terhadap bacaan. Pengukuran bacaan ini dilakukan terhadap bacaan yang telah disusun sebagai model bacaan yang mewakili teks beberapa bacaan sejenis dan berbagai jenis teks pelajaran sebagai pelajaran di sekolah dasar. Penyusunan model bacaan dilakukan dengan mengambil salah satu sampel dari bacaan yang mewakili teks-teks buku pelajaran di sekolah dasar yang kemudian dilakukan perubahan terhadap naskah yang disesuaikan dengan jenis wacana yang disajikan, jenis paragraf penyajian, penggunaan kalimat luas dan sederhana, pembentukan kata, penggunaan dan pemilihan kosakata atau istilah dalam kalimat. Naskah-naskah yang diukur keterbacaannya disusun sebanyak jenis penyajian wacana, penyajian paragraf, dan penyajian kalimat. Dari ketiga variasi jenis bacaan tersebut dimasukkan unsur-unsur yang akan dicermati dari aspek bentukan kata, pilihan kata, dan penggunaan istilah. 
Dengan mencermati ketiga dimensi tersebut, yaitu bacaan, pembaca, dan latar diharapkan variabel keterbacaan buku pelajaran sekolah dasar tergambarkan dari hasil pengukuran secara komprehensif.  

3.2 Desain dan Prosedur Penelitian
 Penelitian ini dilakukan dengan research and development (R and D), sehingga desain yang digunakan adalah desain penelitian dan pengembangan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan terhadap naskah buku-buku pelajaran Sekolah Dasar, kemudian dikembangkan model-model bacaan naskah pelajaran sekolah dasar berdasarkan fokus kajian yang dipersiapkan untuk dilakukan penelitian selanjutnya. 
 Berdasarkan desain tersebut, maka prosedur penelitian yang dilakukan meliputi tiga tahapan, yaitu tahap analisis dan pemodelan; tahap pengukuran; dan tahap penetapan. Tahapan penelitian di atas sejalan dengan konsep penelitian dan pengembangan (research and development) yang dikemukakan oleh Borg dan Gall (1979:772) bahwa dalam penelitian jenis ini terdiri atas kegiatan penelitian pendahuluan yang dilakukan berupa studi deskriptif, dan kegiatan penelitian pengembangan yang dilakukan dengan memberikan perlakuan untuk mengetahui perkembangannya. Adapun kegiatan pada setiap tahapan tersebut dilakukan sebagai berikut:
1) Tahap Pendahuluan
  Pada tahap ini terdiri atas kegiatan analisis dan pemodelan buku teks. Kegiatan analisis dilakukan untuk mengetahui penggunaan bahasa buku dan mengetahui kesesuaian isi (materi) buku. Analisis bahasa buku ditinjau dari aspek:
(1) Kerumitan penggunaan ejaan dalam kalimat;
(2) Kerumitan pemakaian kosakata dalam kalimat;
(3) Kerumitan pemakaian frasa dalam kalimat;
(4) Kerumitan pemakaian kalimat;
(5) Kerumitan pemakaian wacana. 
Adapun analisis isi atau materi dalam buku terutama ditinjau dari aspek:
(1) Kesesuaian dengan kurikulum;
(2) Kesesuaian dengan konsep dasar;
(3) Kesesuaian dengan perkembangan siswa;
Dari analisis bahasa dan isi buku dilakukan deskripsi terhadap naskah dalam buku pelajaran, yang terdiri atas (1) ulasan (teks) dan (2) soal-soal latihan dan tugas-tugas yang harus dilakukan siswa. Penetapan bacaan yang dideskripsikan dilakukan dengan cara acak yang mewakili setiap jenis dan tingkat kelas peruntukan buku pelajaran tersebut.
Kegiatan berikutnya yang dilakukan adalah menyusun model-model bacaan dalam karakteristik wacana yang bervariasi dengan memberikan penekanan pada pemodelan (1) jenis wacana (narasi, deskripsi, dan argumentasi); (2) jenis paragraf (deduktif dan induktif); (3) jenis kalimat (kalimat luas dan sederhana); dan (4) penggunaan kosakata kompleks atau asing dalam kalimat-kalimat suatu wacana. Berdasarkan variasi tersebut maka disusun jenis bacaan buku pelajaran untuk Sekolah Dasar dalam dua kelompok, yaitu bacaan untuk siswa kelas 1 sampai dengan 3 dan kelas 4 sampai dengan 6 masing-masing sebanyak 12 jenis bacaan, sehingga seluruhnya berjumlah 24 model bacaan buku pelajaran. Model-model tersebut diambil dari bacaan buku pelajaran untuk siswa SD dengan disusun ulang sesuai dengan keperluan penggunaan jenis wacana, paragraf, kalimat, dan kosakata.  

2) Tahap Pengukuran
 Pada tahapan ini dilakukan pengukuran dengan tiga jenis. Pengukuran yang pertama adalah mengukur keterbacaan suatu bacaan dari buku pelajaran dengan menggunakan Formula SMOG Test. Penetapan bahan bacaan yang diukur dilakukan secara acak dari suatu buku pelajaran untuk setiap mata pelajaran dan setiap tingkatan siswa. Dari pengukuran ini diketahui karakteristik bacaan yang memiliki kesesuaian dengan usia belajar siswa  
 Pengukuran jenis kedua dilakukan oleh peneliti terhadap hasil deskripsi dari analisis bahasa dan isi (materi) buku tersebut. Pengukuran ini dilakukan dengan mengamati penggunaan ejaan, kosakata, dan frasa dalam kalimat, penggunaan kalimat, dan penggunaan paragraf dari suatu bacaan buku pelajaran. 
 Pengukuran jenis ketiga dilakukan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap model-model bacaan buku pelajaran. Pemahaman siswa diukur dalam hal pemahamannya terhadap bacaan atau pemahamannya terhadap pertanyaan suatu bacaan. Pemahaman mereka diharapkan mencerminkan kecenderungan pemahaman siswa terhadap suatu bacaan dilihat dari aspek pemahaman jenis wacana, paragraf, kalimat, dan kosakata yang digunakan dalam kalimat-kalimat beragaman model bacaan buku pelajaran.  

3) Tahap Penetapan  
 Pada tahap ini dilakukan penetapan karakteristik keterbacaan buku-buku pelajaran Sekolah Dasar. Penetapan hasil pengukuran terhadap buku-buku pelajaran, baik yang ditetapkan oleh formula maupun oleh judgement peneliti dikonsultasikan dengan hasil pengukuran terhadap model-model bacaan yang dicari keterbacaannya berdasarkan pemahaman siswa terhadap bacaan. Dengan demikian penetapan keterbacaan buku pelajaran untuk Sekolah Dasar diidentifikasi berdasarkan tigas pengukuran, yaitu pengukuran oleh suatu formula, peneliti, dan pemahaman siswa terhadap bacaan dan pertanyaan bacaan. Dari hal ini diharapkan akan melahirkan studi keterbacaan yang lebih komprehensif terhadap bacaan untuk siswa Sekolah Dasar berdasarkan karakteristik-karakteristik suatu bacaan.

3.3 Populasi dan Sampel 
 Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui keterbacaan buku-buku pelajaran yang digunakan di Sekolah Dasar di Indonesia. Untuk mengetahui keterbacaan buku-buku pelajaran tersebut, pengkajian tidak hanya ditujukan kepada buku-buku sebagai bacaan, melainkan dilakukan pula terhadap siswa dalam memahami bacaan, sebagai pembaca dengan latar tingkatan pendidikan dan wilayah penggunaan. Oleh karena itu, populasi buku pelajaran adalah seluruh buku pelajaran yang digunakan oleh Sekolah Dasar, baik yang diterbitkan oleh pemerintah maupun yang diterbitkan oleh swasta untuk setiap mata pelajaran dan tingkatan kelas siswa Sekolah Dasar. Selanjutnya dilakukan teknik random sampling untuk menentukan bacaan dari setiap buku mata pelajaran dan setiap tingkatan pendidikan. 
 Populasi siswa yang dijadikan sebagai sumber data adalah seluruh siswa Sekolah Dasar di Indonesia dengan penetapan sampel wilayah kajian dilakukan dengan teknik purposive sampling. Penetapan sekolah kajian dari suatu wilayah ditetapkan pula dengan teknik tersebut, sehingga sampel sekolah dipilih sekolah terbaik, sedang, dan kurang. Penetapan sampel siswa yang diteliti, dari setiap tingkatan kelas dipilih tiga orang siswa, dengan kategori siswa unggul, sedang, dan asor berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh setiap guru kelas. Adapun sumber data tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 3.1

3.4 Metode dan Teknik Penelitian
 Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Metode ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan keterbacaan buku pelajaran di Sekolah Dasar. Keterbacaan tersebut dideskripsikan dari ciri-ciri sebuah buku yang memiliki keterbacaan tinggi berdasarkan kajian terhadap ejaan, kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana. Kajian tersebut ditilik pula berdasarkan pemahaman siswa Sekolah Dasar terhadap aspek-aspek kebahasaan dan isi atau materi yang disajikan dalam bacaan.
 Untuk kepentingan itulah digunakan beberapa teknik penelitian yang sejalan, yaitu:
(1) Teknik Tes
Teknik ini digunakan untuk mengukur keterbacaan bahan bacaan buku pelajaran Sekolah Dasar. Pengukuran dilakukan dengan tiga cara, yaitu pengukuran dengan menggunakan suatu formula, expert judgement, dan pemahaman siswa terhadap bacaan. Instrumen yang digunakan terdiri atas tiga macam, yaitu (1) SMOG Test; (2) Pengukuran Berdasarkan Peneliti; (3) Pemahaman Siswa terhadap Bacaan. Instrumen ketiga terdiri atas 24 buah instrumen yang memiliki karakteristik bacaan berbeda-beda.  
(2) Teknik Observasi
Teknik ini dilakukan peneliti untuk mengetahui aktivitas membaca yang dilakukan setiap siswa sebagai sampel penelitian. Peneliti mencatat semua aktivitas yang dilakukan siswa, baik pada saat membaca bacaan maupun pada saat menjawab pertanyaan bacaan. Data hasil observasi digunakan untuk melengkapi deskripsi keterbacaan berdasarkan pemahaman siswa pada bacaan.  
(3) Teknik Analisis
Teknik ini digunakan untuk menganalisis data yang terkumpul dari hasil pengukuran. Analisis data yang terkumpul difokuskan pada penggunaan kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana. Dari hal ini diharapkan dapat menjawab beberapa masalah penelitian yang telah ditetapkan. Analisis dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi ciri-ciri bacaan yang memiliki keterbacaan sehingga dapat digunakan sebagai rujukan dalam menentapkan keterbacaan suatu buku pelajaran.

3.5 Uji Coba Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini tiga jenis. Instrumen pertama berupa SMOG Test sebagai formula untuk menentukan keterbacaan naskah dihubungkan dengan usia baca pembacanya. Instrumen kedua adalah pengukuran keterbacaan oleh peneliti berdasarkan deskripsi terhadap teks yang dilakukan dengan cara menganalisis naskah buku pelajaran dari aspek bahasa buku teks dan isi atau materi yang disajikan. Instrumen ketiga adalah pengukuran keterbacaan berdasarkan pemahaman siswa terhadap bacaan. Dari ketiga instrumen tersebut diharapkan akan diperoleh informasi keterbacaan buku pelajaran Sekolah Dasar secara komprehensif.  
Sebelum melakukan kajian terlebih dahulu dilakukan ujicoba terhadap ketiga instrumen tersebut. Instrumen pertama diujicobakan untuk mengukur keterbacaan terhadap naskah buku pelajaran untuk Sekolah Dasar yang diterbitkan oleh Pusat Perbukuan. Buku Pelajaran yang diukur keterbacaannya sebanyak enam pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, PPKN, IPA, Penjaskes, dan IPS. Uji coba dilakukan oleh seluruh peneliti, dengan sampel naskah yang diukur dilakukan secara acak. Dari ujicoba formula pertama secara umum diketahui bahwa formula SMOG Test dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan usia baca suatu naskah. Ujicoba instrumen kedua dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap naskah buku pelajaran, kemudian menentukan keterbacaannya. Analisis buku teks tersebut terutama ditujukan pada sampel bacaan dari enam buku pelajaran yang telah diukur keterbacaannya dengan Formula SMOG Test. Dari ujicoba yang dilakukan terhadap instrumen kedua diperoleh informasi bahwa instrumen ini perlu disempurnakan pada beberapa bagian agar memudahkan peneliti melakukan kajian. Penyempurnaan itu terutama untuk meningkatkan efektivitas instrumen dalam menjaring data yang diharapkan. 
Ujicoba selanjutnya dilakukan terhadap instrumen ketiga. Instrumen ini perlu diujicoba dengan melibatkan siswa Sekolah Dasar sebagai pembacanya. Oleh karena itu, ujicoba dilakukan kepada siswa SD Negeri Banjarsari Jalan Merdeka Bandung; SD Negeri Janggala Jalan Jendral Sudirman Ciamis; dan SD Negeri 2 Jalan Kidang Panjung Pangandaran. Penetapan tiga lokasi ujicoba tersebut dimaksudkan untuk memperoleh validitas instrumen secara menyeluruh, mulai dari sekolah dasar terbaik di provinsi hingga yang dianggap terbaik di tingkat kecamatan. Dari ujicoba ini diketahui terdapat beberapa kelemahan yang sangat mendasar dari instrumen yang diujicobakan, oleh karena itu terdapat beberapa catatan, yaitu:
(a) Kehadiran peneliti ke sekolah disambut secara serta merta, karena informasi kegiatan ujicoba penelitian belum terkomunikasikan secara lebih awal. Namun demikian hampir semua sekolah menerima kehadiran peneliti dengan ramah, bahkan Kepala sekolah dan guru ada yang membantu peneliti dalam melaksanakan penelitian;
(b) Pelaksanaan ujicoba kurang terkonsentasi karena mereka pada waktu yang bersamaan sedang melaksanakan Ulangan Umum;
(c) Peneliti mengalami kesulitan di dalam merumpang buku pelajaran terbitan swasta yang digunakan oleh sekolah tersebut sebagai buku pelajaran pendukung. Kesulitan yang paling tinggi pada saat merumpang buku pelajaran Matematika karena pada umumnya berupa angka-angka;
(d) Pada saat siswa menjawab soal pemahaman bacaan dengan teknik rumpang relatif berlangsung dengan lancar. Pada umumnya siswa dapat menjawab soal rumpang dengan cepat. Berdasarkan pencermatan peneliti, tingginya kecepatan siswa menjawab soal rumpang karena mereka telah mengenal buku teks tersebut sebagai materi pelajaran yang telah dibacanya berulang-ulang;
(e) Peneliti mengalami kesulitan pula dalam menyusun pertanyaan wawancara berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan. Peneliti mengalami kesulitan ketika harus mencari suatu permasalahan dari bacaan, misalnya menanyakan pemahaman siswa terhadap penggunaan kosakata tidak baku;
(f) Peneliti mengalami kesulitan dalam menetapkan sampel sebagai responden penelitian di satu sekolah;
(g) Siswa dalam memberikan jawaban wawancara perlu dikonfirmasi lagi karena jawaban cenderung kurang objektif, karena terpengaruh oleh rekan siswa yang lainnya yang berada di sekitar lokasi;
  Dari hasil ujicoba tersebut selanjutnya dilakukan diskusi intensif dengan hasil sebagai berikut:
1) Untuk meningkatkan efektivitas penelitian yang akan dilakukan perlu kegiatan koordinasi dan korespondensi dengan pihak-pihak yang akan dijadikan sebagai sumber data penelitian. Namun demikian, sumber data untuk sampel penelitian ditetapkan kriterianya oleh peneliti ketika peneliti telah sampai di lokasi penelitian wilayah sampel.  
2) Perlu dilakukan penyempurnaan instrumen ketiga, dengan menetapkan bahwa bacaan yang akan diukur informasi keterbacaannya dipersiapkan terlebih dahulu dalam berbagai jenis dan bentuk sesuai dengan karakteristik bacaan yang terdapat di dalam buku bacaan. Oleh karena itu perlu disusun sejumlah model-model bacaan, misalnya bacaan berupa teks/wacana (narasi, eksposisi, argumentasi, deskripsi), berupa pertanyan, latihan, tugas, dan contoh-contoh. Tahapan ini dinamakan tahap modelling instrumen. Bacaan tersebut selanjutnya disusun ulang sesuai dengan hasil kajian terhadap karakteristik bacaan yang memiliki hal-hal yang dapat meningkatkan atau mempengaruhi keterbacaan suatu bacaan;
3) Bacaan hasil penyusunan ulang yang akan diukurkan kepada siswa tersebut terlebih dahulu diidentitasi berdasarkan pengukuran Instrumen I dan Instrumen II (expert judgementI). Keberagaman kemampuan siswa SD dalam memahami bacaan memungkinkan suatu bacaan pada daerah tertentu dapat dipahami siswa kelas 1, sedangkan daerah tertentu hanya oleh siswa kelas 3, sehingga perlu dilakukan pengelompokan peruntukan instrumen ketiga dalam dua kelompok, yaitu untuk siswa kelas 1 sampai dengan 3 dan untuk kelas 4 sampai dengan 6.  
4) Untuk mengetahui kelengkapan data keterbacaan perlu dipersiapkan angket yang dimaksudkan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap bacaan atau pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur pemahaman siswa terhadap bacaan. Selain itu dilakukan pengukuran pemahaman siswa yang dilakukan pula dengan pertanyaan angket seputar pemahaman terhadap makna kata, makna frasa, makna kalimat, dan makna wacana yang diukur keterbacaannya.
 
BAB 4 
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
 Sebagaimana yang telah diungkapkan di muka bahwa studi keterbacaan ini menggunakan tiga buah instrumen. Instrumen pertama dan kedua digunakan untuk mengidentitasi instrumen ketiga, sehingga kedua instrumen tersebut diterapkan oleh peneliti sebelum kegiatan penelitian dengan menggunakan instrumen ketiga. Pengukuran keterbacaan instrumen ketiga diterapkan kepada siswa sebagai pembaca buku pelajaran Sekolah Dasar. Dari kajian yang dilakukan terhadap buku-buku pelajaran yang digunakan oleh para siswa, baik yang diterbitkan oleh pemerintah maupun pihak swasta diformulasikan ke dalam naskah buku pelajaran yang dikemas ke dalam jenis-jenis wacana buku pelajaran Sekolah Dasar. Oleh sebab itu, pada bagian awal perlu disajikan deskripsi wacana-wacana yang digunakan sebagai instrumen ketiga dari penelitian terhadap keterbacaan buku pelajaran Sekolah Dasar. Berdasarkan karakteristik penggunaan wacana, paragraf, kalimat, dan kosakata dari buku pelajaran Sekolah Dasar maka disusun sebanyak 24 jenis instrumen ketiga.  

4.1 Deskripsi Wacana
 Wacana-wacana yang digunakan sebagai instrumen ketiga disusun dengan karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu setiap wacana yang akan diukur keterbacaannya memiliki beberapa identitas sebagai indikator, yaitu:
(1) Jenis wacana yang digunakan (pada umumnya bacaan untuk siswa Sekolah Dasar menggunakan jenis wacana narasi, deskripsi, dan argumentasi, sehingga ketiga jenis wacana ini digunakan sebagai indikator pengukuran pemahaman siswa terhjadap jenis wacana tersebut). Untuk memudahkan dalam memahami instrumen tersebut digunakan kode N untuk narasi, kode A untuk argumentasi, dan D untuk deskripsi;
(2) Jenis penyajian paragraf dari paragraf-paragraf yang digunakan dalam suatu wacana (pada umumnya bacaan untuk siswa Sekolah Dasar menggunakan jenis paragraf deduktif dan induktif, sehingga indikator pemahaman siswa terhadap paragraf digunakan jenis paragraf deduktif dan induktif). Untuk memudahkan pemahaman instrumen digunakan kode D untuk wacana yang pada umumnya menggunakan paragraf deduktif, sedangkan kode I untuk wacana yang banyak menggunakan paragraf induktif;
(3) Jenis kalimat yang digunakan dalam wacana (pada umumnya bacaan disajikan dengan menggunakan kalimat-kalimat luas dan kalimat-kalimat sederhana) sehingga jenis kalimat yang digunakan sebagai indicator adalah penggunaan kalimat-kalimat tersebut. Untuk memudahkan dalam memahami jenis penggunaan kalimata tersebut dilakukan pengkodean, jika wacana tersebut banyak menggunakan kalimat-kalimat luas digunakan kode L, sedangkan kode S digunakan jika wacana tersebut banyak menggunakan kalimat-kalimat sederhana.
(4) Peruntukan bahan bacaan untuk siswa (bahan bacaan yang digunakan oleh siswa kelas 1 sampai dengan kelas 3 serta bahan bacaan untuk siswa Sekolah Dasar kelas 4 sampai dengan 6). Untuk memudahkan dalam pengenalan instrumen digunakan pengkodean, kode 13 jika wacana tersebut diperuntukkan bagi siswa Sekolah Dasar kelas 1, 2, dan 3, sedangkan kode 46 jika wacana tersebut diperuntukkan bagi siswa kelas 4, 5, dan 6.  
(5) Keterbacaan hasil pengukuran formula SMOG Test. Setiap naskah diukur keterbacaannya terlebih dahulu oleh peneliti dan dikonfirmasi dengan hasil pengukuran dengan formula sama oleh peneliti lainnya. Hasil pengukuran tersebut berupa prediksi kesesuaian bacaan dengan usia siswa. Asumsi yang digunakan adalah bahwa pada umumnya siswa yang diterima di kelas 1 Sekolah Dasar telah berusia 7 tahun (sesuai dengan ketentuan wajib belajar yang dicanangkan pemerintah). Oleh karena itu digunakan kode angka yang menunjukkan kesesuaian bacaan dengan usia pembaca;
(6) Keterbacaan menurut peneliti diklasifikasikan ke dalam Sedang, Tinggi, dan Sangat Tinggi. Suatu bacaan dikategorikan memiliki keterbacaan yang sangat tinggi jika berdasarkan analisis peneliti terhadap penggunaan wacana, paragraf, kalimat, dan kosakata baik yang digunakan pada bahan bacaan maupun pertanyaan atau soal-soal yang terdapat dalam buku pelajaran Sekolah Dasar. Untuk memudahkan pengenalan keterbacaan menurut peneliti digunakan kode SD jika bacaan tersebut memiliki keterbacaan sedang, T jika memiliki keterbacaan tinggi, dan ST jika memiliki keterbacaan sangat tinggi.
Berdasarkan indikator-indikator tersebut maka setiap wacana yang digunakan sebagai instrumen ketiga dapat dideskripsikan sebagai berikut:


4.2 Data Hasil Penelitian
 Data hasil penelitian yang disajikan pada bagian ini adalah rekapitulasi data hasil pengukuran kemampuan membaca siswa Sekolah Dasar. Kemampuan yang disajikan dalam data berikut ini hanya hasil pengukuran atas kemampuan memahami bacaan dan kemampuan memahami bahasa yang digunakan oleh bacaan tersebut. Kemampuan memahami wacana diukur oleh pertanyaan yang berhubungan dengan materi bacaan. Kemampuan memahami bahasa bacaan diukur oleh pertanyaan pemahaman atas wacana, paragraf, kalimat, frasa atau kosakata yang digunakan oleh bacaan, dan pengukuran pemahaman pertanyaan bacaan.  

4.3 Analisis Data 
 Pada bagian ini akan disajikan analisis data yang berhubungan dengan keterbacaan berdasarkan pemahaman siswa terhadap bacaan. 

4.3.1 Keterbacaan Berdasarkan Pemahaman Siswa 

 Kemampuan siswa dalam memahami bacaan dapat dikemukakan dalam dua bagian, yaitu kemampuan memahami bacaan dan kemampuan memahami bahasa suatu bacaan. Kemampuan memahami bacaan diukur berdasarkan pemahaman siswa terhadap tiga jenis wacana yang bervariasi dalam 24 jenis bacaan, sedangkan kemampuan memahami bahasa bacaan diukur berdasarkan pemahaman bentuk-bentuk bahasa yang digunakan dalam bacaan tersebut. 

1) Kemampuan Memahami Bacaan
 Pengukuran kemampuan siswa dalam memahami bacaan dilakukan untuk menetapkan keterbacaan berdasarkan pemahaman siswa terhadap bacaan. Dari pengukuran yang dilakukan diketahui bahwa pada umumnya siswa kelas satu Sekolah Dasar berkesulitan dalam memahami bacaan. Siswa kelas satu Sekolah Dasar masih banyak yang belum dapat membaca, kecuali mendapat bantuan dari para guru dalam memberikan alternatif jawaban yang disajikan dalam instrumen. Sebagian siswa kelas satu Sekolah Dasar baru mengenal lambang huruf dan kemampuan membacanya masih pada tingkat mengeja.
 Siswa kelas dua Sekolah Dasar sudah dapat membaca sekalipun kemampuannya masih sangat beragam. Pada daerah perkotaan pada umumnya mereka telah dapat membaca, sekalipun tingkat membaca mereka pada membaca literal. Mereka dapat membaca bahan bacaan dan dapat menjawab pertanyaan bacaan yang bersifat rumpang kata dari suatu bacaan dengan bantuan guru, namun masih terdapat siswa kelas dua yang belum dapat membaca. Hal tersebut dipandang sebagai kasus karena secara umum mereka telah dapat membaca huruf dalambangunan kata, sehingga dapat dinyatakan bahwa siswa kelas dua Sekolah Dasar pada umumnya telah memiliki kemampuan membaca. Namun demikian, dari kajian ini dapat diketahui bahwa siswa kelas tiga Sekolah Dasar telah dapat membaca dan memahami bacaan.

2) Kemampuan Memahami Aspek Bahasa 
 Kemampuan memahami bacaan akan berhubungan dengan karakteristik bacaan itu. Berdasarkan hal tersebut maka aspek-aspek yang berhubungan dengan bacaan berhubungan dengan aspek bahasa, yaitu wacana, paragraf, kalimat, dan kosakata. Selain itu terdapat pula kaitan antara bacaan dengan pemahaman terhadap pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman bacaan. 

(1) Aspek Wacana
Berdasarkan pengukuran terhadap keterbacaan wacana narasi, argumentasi, dan deskripsi diketahui informasi beragam. Sebagian besar siswa kelas satu Sekolah Dasar masih belum dapat memahami ketiga jenis wacana tersebut. Siswa kelas satu telah dapat melafalkan atau membunyikan lambang-lambang huruf dalam susunan kata, kecuali 30% di antara mereka hanya mampu melafalkan sukukata atau huruf-huruf dalam deretan kata. Siswa kelas satu yang telah dapat membaca, tingkat pemahaman mereka baru pada pemahaman makna kata dan sebagian kecil siswa kelas satu telah dapat memahami kalimat sederhana. Berdasarkan hal ini siswa kelas satu masih belum dapat memahami wacana. 
Pemahaman wacana pada sebagian besar siswa kelas dua (78%) telah mulai dimiliki, namun sebagian lainnya masih pada kemampuan memahami makna kata dalam susunan kalimat. Mereka belum memahami wacana karena mereka baru pada tahap mengerti makna susunan huruf dalam konteks kata. 
Siswa kelas tiga pada umumnya dan siswa kelas empat sampai dengan kelas enam telah dapat memahami makna wacana. Bagi siswa kelas tiga, wacana narasi lebih dapat dipahami daripada wacana argumentasi dan deskripsi. Pemahaman jenis wacana ini terdapat kenyataan sebaliknya bagi siswa kelas empat, lima, dan enam. Bagi mereka pemahaman wacana deskripsi dan argumentasi lebih baik daripada wacana narasi.  

(2) Aspek Paragraf
Dari aspek paragraf dapat diketahui kemampuan yang sangat menarik. Siswa kelas tiga Sekolah Dasar lebih dapat memahami bentuk paragraf deduktif daripada induktif. Sementara itu, siswa kelas empat, lima, dan enam lebih dapat memahami paragraf induktif pada wacana narasi sedangkan pada wacana argumentasi dan deskripsi justru lebih dapat memahami paragraf deduktif. Namun demikian, secara umum dapat diketahui bahwa siswa Sekolah Dasar lebih dapat memahami penyajian paragraf deduktif daripada paragraf induktif. Khusus dalam penyajian bentuk paragraf induktif pada jenis wacana narasi diketahui dapat dipahami lebih baik oleh siswa kelas empat, lima, enam Sekolah Dasar. Mereka lebih dapat memahami paragraf induktif daripada deduktif, namun hanya pada jenis wacana narasi.  

(3) Aspek Kalimat
Pemahaman kalimat bagi siswa kelas satu, dua, dan tiga Sekolah Dasar diperoleh informasi berarti. Siswa kelas satu hanya sebagian kecil saja yang dapat memahami kalimat, terutama kalimat sederhana. Siswa kelas dua dan tiga Sekolah Dasar lebih mudah dalam memahami kalimat-kalimat sederhana daripada kalimat-kalimat luas, pada semua jenis wacana dan setiap penyajian paragraf. Siswa kelas empat, lima, dan enam dapat memhami kalimat-kalimat luas pada jenis wacana narasi dan deskripsi daripada kalimat-kalimat sederhana, sedangkan pemahaman kalimat sederhana lebih baik pada jenis wacana argumentasi. Bagi mereka, kalimat-kalimat luas pada wacana narasi dengan paragraf deduktif lebih mudah dipahami daripada kalimat-kalimat sederhana. Dari siswa yang telah dapat memahami kalimat diperoleh informasi bahwa kalimat-kalimat sederhana pada paragraf deduktif kurang dapat dipahami oleh para siswa Sekolah dasar daripada kalimat luas.

(4) Aspek Frasa dan Kosakata
Dari kajian pemahaman siswa terhadap frasa, kata majemuk, istilah, atau kosakata diketahui informasi bahwa sebagian kecil siswa kelas satu, sebagian besar kelas dua, dan pada umumnya siswa kelas tiga telah memahami makna kosakata yang digunakan dalam kalimat-kalimat yang terdapat dalam wacana tersebut. Namun pemahaman mereka terhadap kosakata dengan makna khusus masih rendah. Kosakata yang dipahami mereka adalah kosakata yang berhubungan dengan likungan dan dunianya. Mereka masih mengalami kesulitan dalam memahami frasa dan kosakata dengan makna abstrak. 
Siswa kelas empat, lima, enam pada umumnya telah memahami makna frasa dan kosakata. Namun makna frasa dan kosakata tertentu yang diserap dari bahasa asing atau kosakata istilah yang abstrak masih belum dapat dipahami, hanya sebagian kecil dari mereka yang dapat memahaminya. Kosakata yang dipandang sulit dipahami oleh siswa, namun karena pertanyaannya disajikan dalam konteks kalimat, siswa jadi dapat memahaminya.  

(5) Aspek Pemahaman terhadap Pertanyaan atau Latihan
Untuk melihat kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan atau latihan dari suatu bacaan dilakukan pengukuran terhadap hal tersebut. Pengukuran pemahaman terhadap pertanyaan bacaan ini dimaksudkan pula untuk melihat kesesuaian jawaban pertanyaan yang diberikan siswa dengan pemahaman mereka atas pertanyaan. 
Berdasarkan kajian terhadap pemahaman pertanyaan bacaan dapat diketahui bahwa siswa kelas tiga, empat, lima, dan enam Sekolah Dasar dapat memahami pertanyaan yang digunakan dari suatu wacana. Pemahaman siswa yang masih kurang terhadap pertanyaan bacaan jika pertanyaan tersebut mengukur kemampuan tersirat atau mengukur daya nalar siswa. Pertanyaan-pertanyaan yang merujuk pada suatu bacaan secara tersurat lebih mudah dipahami oleh para siswa dan hubungannya sangat erat dengan tingkat kebenaran jawaban yang diberikan. Ketika siswa menjawab dengan benar pertanyaan dari suatu bacaan, maka diketahui pula jawaban siswa tersebut benar terhadap pemahaman pertanyaan bacaan yang diajukan. Keterkaitan antara pemahaman siswa pada bacaan dengan pemahaman siswa terhadap pertanyaan bacaan diketahui sangat erat. Setiap jawaban pertanyaan yang tidak benar, dilakukan karena siswa tidak memahami bacaan.
  
4.3.2 Keterbacaan 
 Pada bagian ini akan ditetapkan keterbacaan setiap bacaan buku pelajaran siswa Sekolah Dasar. Bacaan yang akan diujikan disusun atas bahan bacaan pada buku Pelajaran yang disusun ulang. Dasar analisis yang digunakan adalah hasil konversi keterbacaan dari kemampuan siswa memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan. Tabel rekapitulasi hasil konversi yang dimaksud adalah sebagai berikut:


Berdasarkan data tersebut, maka dapat dikemukakan setiap bacaan yang diukur adalah sebagai berikut:

1) Bacaan Berjudul “Kembali Bersekolah” dengan kode NDS.13.10.T 
Bacaan berjudul “Kembali Bersekolah” disusun sebagai wacana narasi, dengan penyusunan paragraf secara deduktif, dan kalimat-kalimatnya dominan menggunakan kalimat sederhana. Wacana ini diambil dari salah satu buku pelajaran SD siswa kelas dua. Berdasarkan pengukuran formula SMOG terhadap wacana tersebut diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki keterbacaan pada level 10 atau sesuai untuk siswa kelas tiga Sekolah Dasar. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh ahli diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki keterbacaan tinggi sehingga bagi siswa kelas satu sulit sekali memahaminya. Berdasarkan pengukuran terhadap pemahaman pada bacaan dan pertanyaan diketahui jumlah gabungan rata-rata skor kedua kemampuan tersebut 8,60 atau 4,425. Hal ini berarti bahwa bacaan terebut memiliki kesesuaian untuk siswa kelas tiga dan termasuk ke dalam bacaan yang memiliki keterbacaan sedang.  
2) Bacaan Berjudul “Keikhlasan” dengan Kode NDL.13.10.T
Bacaan berjudul “Keikhlasan” disusun dalam jenis wacana narasi, dengan susunan paragraph deduktif, dan kalimat-kalimatnya dominan menggunakan kalimat luas. Berdasarkan pengukuran formula SMOG terhadap bacaan tersebut diketahui bahwa bacaan itu memiliki level keterbacaan 10 atau sesuai untuk siswa kelas tiga Sekolah Dasar. Berdasarkan pengukuran ahli diketahui bahwa bacaan itu memiliki keterbacaan tinggi sehingga dipandang hanya dapat dipahami oleh sebagian siswa kelas dua dan oleh siswa kelas tiga. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan memahami pertanyaan bacaan diketahui gabungan rata-rata skor 10,52 atau rata-rata 5,26. Berdasarkan konversi nilai keterbacaan maka bacaan tersebut diketahui tergolong ke dalam keterbacaan tinggi.
3) Bacaan Berjudul “Khayalan Badu“ dengan Kode NIS.13.8.T
Bacaan berjudul “Khayalan Badu“ disusun dalam jenis wacana narasi, dengan penyusunan paragraf secara induktif, dan kalimat-kalimatnya berjudul “Khayalan Badu“ dominan menggunakan kalimat-kalimat sederhana. Berdasarkan pengukuran formula SMOG pada bacaan tersebut diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki keterbacaan untuk level 8 atau sesuai untuk siswa kelas satu Sekolah Dasar. Berdasarkan pengukuran ahli diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki keterbacaan tinggi sehingga hanya siswa kelas dua yang telah dapat membaca saja yang dapat menjawab beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan bacaan. Berdasarkan pengkuran terhadap kemampuan siswa memahami bacaan dan kemampuan siswa memahami pertanyaan bacaan diketahui jumlah gabungan rata-rata skor sebesar 8,6 sehingga rata-ratanya sebesar 4,3. Skor ini jika dimasukkan ke dalam nilai konversi keterbacaan maka tergolong ke dalam keterbacaan sedang.  
4) Bacaan Berjudul “Kera dan Ikan Lumba-lumba” dengan Kode NIL.13.8.T
Bacaan berjudul “Kera dan Ikan Lumba-lumba” disusun dengan menggunakan jenis wacana narasi, dengan susunan paragraf induktif, dan kalimat-kalimat pembentuknya dominan menggunakan kalimat-kalimat panjang. Ketika diukur dengan menggunakan formula SMOG diketahui memiliki keterbacaan pada level 8 sehingga dipandang cocok untuk siswa kelas satu Sekolah Dasar yang telah dapat membaca. Berdasarkan pengukuran ahli diketahui memiliki keterbacaan tinggi, sehingga bacaan tersebut dipandang akan sulit dipahami oleh siswa kelas satu, namun akan dapat dipahami jika dibaca oleh siswa kelas tiga. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diketahui jumlah nilai rata-rata keduanya sebesar 9,68, sehingga skor rata-rata keterbacaan dari bacaan tersebut sebesar 4,84 yang berdasarkan konversi nilai keterbacaan tergolong ke dalam keterbacaan sedang. 
5) Bacaan Berjudul “Kucing” dengan Kode NDS.46.11.ST
Bacaan berjudul “Kucing” disusun dalam jenis wacana narasi, dengan menggunakan penyajian paragraf deduktif, dan kalimat-kalimat pembentuknya dominan menggunakan kalimat-kalimat sederhana. Bacaan tersebut diukur oleh formula SMOG yang menghasilkan keterbacaan pada level 11, sehingga bacaan itu dipandang memiliki kesesuaian usia bacaan untuk siswa kelas empat Sekolah Dasar. Berdasarkan pengukuran ahli bacaan tersebut diketahui memiliki keterbacaan sangat tinggi, sehingga dapat diduga dapat dipahami dengan baik oleh siswa kelas empat. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diketahui jumlah rata-rata skor dari keduanya sebesar 12,49 atau rata-rata sebesar 6,245 yang berdasarkan tabel konversi diketahui memiliki keterbacaan tinggi.
6) Bacaan Berjudul “Kebaikan akan Selalu Menang” dengan Kode NDL.46.12.T
Bacaan berjudul “Kebaikan akan Selalu Menang” disusun dalam jenis wacana narasi, dengan menggunakan penyajian paragraf deduktif, dan disusun dengan menggunakan kalimat-kalimat luas. Berdasarkan fomula SMOG diketahui bacaan tersebut memiliki keterbacaan level 12, sehingga bacaan tersebut diduga sesuai untuk siswa kelas lima sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli terhadap bacaan tersebut diketahui memiliki keterbacaan tinggi, sehingga bacaan tersebut diduga akan sulit dipahami oleh siswa kelas empat karena bagi siswa kelas lima pun sebagian akan mengalami kesulitan. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa memehami bacaan dan pemahaman siswa pada pertanyaan bacaan diketahui jumlah rata-rata dari keduanya sebsar 15,11 atau rata-rata sebesar 7,55 yang berdasarkan tabel konversi keterbacaan diketahui bahwa bacaan tersebut tergolong memiliki keterbacaan sangat tinggi.  
7) Bacaan Berjudul “Hewan” dengan Kode NIS.46.12.T
Bacaan berjudul “Hewan” disusun dalam jenis wacana narasi, dengan paragraf-paragraf induktif, dan disajikan dengan menggunakan kalimat-kalimat sederhana. Berdasarkan formula SMOG bacaan tersebut memiliki keterbacaan level 12 sehingga diduga memiliki keterbacaan yang sesuai untuk siswa kelas lima sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli terhadap bacaan tersebut, diketahui memiliki keterbacaan tinggi, sehingga diduga akan sulit dipahami oleh siswa kelas empat sekolah dasar, karena bagi siswa kelas lima pun sebagian dipandang akan memiliki kesulitan. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki jumlah rata-rata keduanya sebesar 14,49 atau rata-rata sebesar 7,245 yang berdasarkan nilai konversi keterbacaan tergolong ke dalam kategori tinggi. 
8) Bacaan Berjudul “Zaenab” dengan Kode NIL.46.13.ST
Bacaan berjudul “Zaenab” disusun dalam jenis wacana narasi, dengan disajikan dalam bentuk paragraf induktif, dan penyusunan kalimat-kalimatnya dominan menggunakan kalimat luas. Berdasarkan pengukuran formula SMOG terhadap bacaan tersebut maka diketahui memiliki keterbacaan level 13 sehingga diduga memiliki keterbacaan yang sesuai untuk siswa kelas enam sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli, diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki keterbacaan sangat tinggi, sehingga disuga akan mudah dipahami oleh siswa kelas enam dan juga kelas lima. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa memahami pertanyaan bacaan diketahui memiliki jumlah rata-rata sebesar 10,33 atau rata-rata sebesar 5,65 yang berdasarkan nilai konversi keterbacaan maka tergolong ke dalam kategori tinggi.
9) Bacaan Berjudul “Mandi di Sungai” ADS.13.10.ST 
Bacaan berjudul “Mandi di Sungai” disusun dalam jenis wacana argumentasi, disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif, dan menggunakan kalimat-kalimat sederhana. Berdasarkan pengukuran formula SMOG terhadap bacaan tersebut diketahui memiliki keterbacaan untuk level 10, sehingga diduga bacaan tersebut sesuai untuk siswa kelas tiga sekolah dasar. Dari pengukuran yang dilakukan ahli diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki keterbacaan sangat tinggi, sehingga jika bacaan tersebut digunakan oleh siswa kelas tiga dapat diduga bahwa bacaan tersebut dapat dipahami dengan baik. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diketahui jumlah rata-rata keduanya adalah 10,37 atau memiliki rata-rata sebesar 5,185. Besaran ini jika disesuaikan dengan tabel nilai konversi keterbacaan diketahui memiliki keterbacaan tinggi.  
10) Bacaan Berjudul “Makanan Sehat dan Gizi Seimbang” Berkode ADL.13.10.ST
Bacaan berjudul “Makanan Sehat dan Gizi Seimbang” disusun dengan menggunakan wacana argumentasi, disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif, dan disajikan dengan dominasi menggunakan kalimat-kalimat luas. Berdasarkan pengukuran formula SMOG terhadap bacaan tersebut diketahui memiliki kesesuaian keterbacaan pada level 10, sehingga diduga memiliki kesesuaian bacaan untuk siswa kelas tiga sekolah dasar. Berdasarkan hasil pengukuran para ahli diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki keterbacaan sangat tinggi, sehingga diduga bacaan tersebut akan mudah dipahami oleh siswa kelas tiga dengan baik. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diketahui jumlah rata-rata keduanya sebesar 9,08 atau memiliki rata-rata sebesar 4,54. Angka ini berdasarkan tabel nilai konversi keterbacaan tergolong ke dalam bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi.  
11) Bacaan Berjudul “Bersih Itu Sehat” dengan Kode AIS.13.8.T
Bacaan berjudul “Bersih Itu Sehat” disusun dengan menggunakan wacana argumentasi, dengan paragraf-paragraf pembentuknya berupa paragraf induktif, dan kalimat-kalimat yang membentuknya dominan menggunakan kalimat-kalimat sederhana. Berdasarkan pengukuran fomula SMOG diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki kesesuaian keterbacaan pada level 8 atau dapat diduga akan sesuai untuk siswa kelas satu yang telah dapat membaca dan siswa kelas dua. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diketahui jumlah rata-rata keduanya sebesar 10,7 atau rata-rata sebesar 5,35. Angka ini jika disesuaikan dengan nilai konversi keterbacaan tergolong ke dalam memiliki keterbacaan tinggi.  
12) Bacaan Berjudul “Manfaat Alas Kaki” dengan Kode AIL.13.9.ST
Bacaan berjudul “Manfaat Alas Kaki” disusun dengan menggunakan wacana argumentasi, disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf induktif, dan dominan menggunakan kalimat-kalimat luas. Berdasarkan pengukuran formula SMOG terhadap bacaan tersebut, diketahui memiliki kesesuaian keterbacaan pada level 9, sehingga diduga bacaan tersebut akan sesuai untuk siswa kelas dua sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli diketahui bahwa bacaan tersebut tergolong ke dalam klasifikasi keterbacaan sangat tinggi, sehingga bagi siswa kelas dua bacaan berjudul “Manfaat Alas Kaki” akan mudah dipahami. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diperoleh jumlah rata-rata keterbacaannya sebesar 7,89 atau memiliki rata-rata sebesar 3,945. Angka ini menunjukkan bahwa keterbacaan dari bacaan tersebut tergolong ke dalam sedang.  
13) Bacaan Berjudul “Lingkungan Rumah” dengan Kode ADS.46.13.ST
Bacaan berjudul “Lingkungan Rumah” disusun dengan menggunakan wacana argumentasi, disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif, dan dominan menggunakan kalimat-kalimat sederhana. Berdasarakan pengukuran formula SMOG, diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki keterbacaan untuk level 13, sehingga diduga bacaan tersebut memiliki kesesuaian untuk siswa kelas enam sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli diketahui bahwa bacaan tersebut tergolong ke dalam klasifikasi keterbacaan sangat tinggi, sehingga keterbacaan bacaan tersebut akan mudah dipahami oleh siswa kelas enam. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diketahui bahwa jumlah rata-rata kemampuan mereka mencapai 14,87 atau memiliki rata-rata 7,435. Angka tersebut jika dimasukkan ke dalam konversi nilai keterbacaan tergolong ke dalam keterbacaan tinggi.  
14) Bacaan Berjudul “Sarana Komunikasi” dengan Kode ADL.46.13.ST
Bacaan berjudul “Sarana Komunikasi” disusun dengan menggunanakan wacana argumentasi, disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif, dan dominan menggunakan kalimat-kalimat luas. Berdasarkan fomula SMOG, diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki keterbacaan untuk level 13, sehingga diduga dapat dipahami oleh siswa kelas enam sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli terhadap bacaan tersebut diketahui memiliki klasifikasi keterbacaan sangat tinggi, sehingga diduga bacaan tersebut dapat dipahami dengan baik oleh siswa kelas enam. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diketahui memiliki jumlah skor rata-rata keterbacaan sebesar 16,38 atau rata-rata sebesar 8,19. Angka ini berdasarkan nilai konversi keterbacaan maka tergolong ke dalam keterbacaan sangat tinggi.  
15) Bacaan Berjudul “Pembuangan Sampah” dengan Kode AIS.46.11.ST
Bacaan berjudul “Pembuangan Sampah” disusun dengan menggunakan wacana argumentasi, disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf induktif, dan disusun dengan dominan menggunakan kalimat-kalimat sederhana. Berdasarkan formula SMOG diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki keterbacaan untuk level 11, sehingga diduga bacaan tersebut sesuai untuk siswa kelas empat sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli terhadap bacaan tersebut diketahui memiliki klasifikasi keterbacaan sangat tinggi, sehingga jika bacaan tersebut dibaca oleh siswa kelas empat diduga akan dapat dipahami dengan baik. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa memahami bacaan dan kemampuan siswa memahami pertanyaan bacaan diketahui memiliki jumlah skor rata-rata sebesar 17,67 atau rata-rata 8,835 yang berdasarkan nilai konversi keterbacaan tergolong ke dalam bacaan yang memeiliki keterbacaan sangat tinggi.  
16) Bacaan Berjudul “Imunisasi” dengan Kode AIL.46.12.SD
Bacaan berjudul “Imunisasi” disusun dengan menggunakan wacana argumentasi, dengan penyajian paragraf-paragrafnya disusun secara induktif, dan kalimat-kalimat yang membangunnya dominan menggunakan kalimat luas. Berdasarkan pengukuran formula SMOG diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki keterbacaan untuk level 12, sehingga diduga bacaan tersebut sesuai untuk siswa kelas lima sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli terhadap bacaan tersebut diketahui tergolong ke dalam keterbacaan sedang, sehingga jika bacaan tersebut dibaca oleh siswa kelas lima diduga akan sulit dipahami. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa memahami bacaan dan kemampuan siswa memahami pertanyaan bacaan diketahui jumlah rata-rata skor keduanya adalah 14,63 atau rata-rata skor keterbacaan sebesar 7,315. Jika angka ini dilihat dalam nilai konversi keterbacaan maka tergolong ke dalam keterbacaan tinggi. 


17) Bacaan Berjudul “Makan Yang Tidak Tertib” dengan Kode DDS.13.8.ST
Bacaan berjudul “Makan yang Tidak Tertib” disusun dengan menggunakan wacana deskripsi, dengan penyajian paragraf-paragraf pembentuknya secara deduktif, dan kalimat-kalimat yang membentuknya dominan menggunakan kalimat-kalimat sederhana. Berdasarkan pengukuran formula SMOG diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki keterbacaan untuk level 8, sehingga bacaan tersebut diduga akan dapat dipahami oleh siswa kelas satu yang telah membaca dan siswa kelas dua sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli terhadap bacaan tersebut diketahui bahwa keterbacaannya tergolong ke dalam keterbacaan sangat tinggi, sehingga jika bacaan tersebut dibaca oleh siswa kelas satu yang telah dapat membaca atau siswa kelas dua maka diduga mereka akan dapat memahaminya dengan baik. Berdasarkan pengukuran terjadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diketahui jumlah rata-rata skor yang dicapainya adalah 9,29 atau rata-rata mendapatkan skor 4,645 yang jika dimasukkan ke dalam tabel konversi nilai keterbacaan, maka tergolong ke dalam keterbacaan sedang.
18) Bacaan Berjudul “Kepulauan Nusantara” dengan Kode DDL.13.10.T 
Bacaan berjudul “Kepulauan Nusantara” disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi, dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif, dan dan dominan menggunakan kalimat-kalimat luas. Berdasarkan pengukuran formula SMOG terhadap bacaan tersebut diketahui memiliki tingkat keterbacaan pada level 10, sehingga bacaan tersebut diduga memiliki kesesuaian untuk siswa kelas tiga sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli diketahui bahwa keterbacaannya tergolong ke dalam keterbacaan tinggi, sehingga bacaan tersebut dapat dipahami oleh siswa kelas tiga, namun akan sulit dipahami oleh siswa kelas dua. Dari pengukuran terhadap kemampuan siswa memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diperoleh jumlah skor rata-rata sebesar 10,11 atau rata-rata keterbacaan sebesar 5,055, yang jika dimasukkan ke dalam tabel konversi keterbacaan tergolong ke dalam keterbacaan sedang. 
19) Bacaan Berjudul “Sayur-sayuran” dengan Kode DIS.13.10.ST 
Bacaan berjudul “Sayur-sayuran” disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi, dengan menggunakan paragraf-paragraf induktif, dan disajikan secara dominan dengan menggunakan kalimat-kalimat sederhana. Berdasarkan pengukuran formula SMOG terhadap bacaan tersebut, diketahui memiliki keterbacaan pada level 10, sehingga bacaan tersbut diduga akan dapat dipahami oleh siswa kelas tiga sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli terhadap bacaan tersebut diketahui bahwa bacaan tersebut tergolong ke dalam kategori sangat tinggi, sehingga dari hal ini diduga bacaan itu mudah dipahami oleh siswa kelas tiga. Dari pengukuran terhadap pemahaman siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diperoleh jumlah skor rata-rata keduanya sebesar 8,93 atau rata-rata sebesar 4,465 sehingga berdasarkan tabel konversi nilai tergolong ke dalam keterbacaan sedang.
20) Bacaan Berjudul “Dataran dan Daratan” dengan Kode DIL.13.9.ST
Bacaan berjudul “Dataran dan Daratan” disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi, dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif, dan disusun secara dominan dengan menggunakan kalimat-kalimat luas. Berdasarkan pengukuran formula SMOG diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki keterbacaan pada level 9, sehingga dapat diduga bacaan tersebut sesuai untuk digunakan siswa kelas dua sekolah adasar. Berdasarkan pengukuran ahli terhadap bacaan tersebut diketahui memiliki keterbacaan sanga tinggi, sehingga dari hal itu dapat diduga bahwa siswa kelas dua akan dapat memahami bacaan itu dengan baik. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diperoleh jumlah rata-rata skor sejumlah 8,33 atau rata-rata sebesar 4,165 yang dalam nilai konversi keterbacaan tergolong ke dalam keterbacaan sedang. 
21) Bacaan Berjudul “Jantung Manusia” dengan Kode DDS.46.11.T
Bacaan berjudul “Jantung Manusia” disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi, disusun dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif, dan dominan menggunakan kalimat-kalimat sederhana. Berdasarkan pengukuran formula SMOG, diketahui bahwa bacaan tersebut memiliki level keterbacaan 11, sehingga diduga bacaan tersebut memiliki kesesuaian untuk siswa kelas empat sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli terhadap bacaan tersebut, diketahui memiliki keterbacaan tinggi, sehingga dapat diduga akan dapat dipahami oleh siswa kelas empat. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diketahui jumlah rata-rata keterbacaannya sebesar 14,41 atau rata-rata sebesar 7,205 yang dalam tabel konversi tergolong ke dalam keterbacaan tinggi.


22) Bacaan Berjudul “Mata dan Bagiannya” dengan Kode DDL.46.13.ST
Bacaan berjudul “Mata dan Bagiannya” disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi, dan paragraph-paragraf pembangunnya menggunakan paragraf deduktif, serta dikemas dengan dominasi menggunakan kalimat-kalimat luas. Berdasarkan pengukuran formula SMOG terhadap bacaan tersebut diketahui angka keterbacaan pada level 13, sehingga bacaan tersebut diduga akan dapat dipahami dengan baik oleh siswa kelas enam sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli pada bacaan tersebut diketahui memiliki keterbacaan sangat tinggi, sehingga dapat diduga akan dapat dipahami oleh siswa kelas enam dengan baik. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan, diketahui memiliki jumlah rata-rata sebesar 18,45 atau rata-rata sebesar 9,225 yang jika dimasukkan ke dalam nilai konversi keterbacaan maka tergolong ke dalam keterbacaan sangat tinggi.  
23) Bacaan Berjudul “Cahaya Bulan” dengan Kode DIS.46.12.T
Bacaan berjudul “Cahaya Bulan” disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi, disusun dengan menggunakan paragraf-paragraf induktif, dan kalimat-kalimat pembangunnya dominan menggunakan kalimat sederhana. Dari hasil pengukuran oleh formula SMOG diketahui memiliki keterbacaan pada level 12 sehingga diduga memiliki kesesuaian untuk siswa kelas lima sekolah dasar. Berdasarkan hasil pengukuran para ahli diketahui bahwa bacaan tersebut tergolong ke dalam tinggi, sehingga siswa kelas lima dapat memahami bacaan tersebut dan siswa kelas enam akan lebih baik lagi dalam memahaminya. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diketahui jumlah rata-rata keduanya sebesar 11,56 atau rata-rata sebesar 5,78 yang jika dilihat dalam nilai konversi keterbacaan tergolong ke dalam keterbacaan tinggi.
24) Bacaan Berjudul “Candi Prambanan” dengan Kode DIL.46.13.ST
Bacaan berjudul “Candi Prambanan” disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi, dibentuk oleh paragraf-paragraf induktif, dan dibangun oleh kalimat-kalimat yang dominan menggunakan kalimat luas. Berdasarkan pengukuran formula SMOG diketahui memiliki keterbacaan pada level 13 sehingga diduga memiliki kesesuaian untuk siswa kelas enam sekolah dasar. Berdasarkan pengukuran ahli pada bacaan tersebut, diketahui bahwa bacaan itu tergolong ke dalam keterbacaan sangat tinggi, sehingga jika bacaan itu dibaca oleh siswa kelas enam akan dapat memahaminya dengan baik. Berdasarkan pengukuran terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan kemampuan siswa dalam memahami pertanyaan bacaan diketahui jumlah rata-rata keduanya sebesar 14,21 atau rata-rata sebesar 7,105 yang dalam tabel nilai konversi keterbacaan tergolong ke dalam keterbacaan tinggi.
 Berdasarkan deskripsi atas keterbacaan seluruh bacaan tersebut, maka dapat disusun rekapitulasi hasil pengukuran keterbacaan, baik berdasarkan formula SMOG, berdasarkan pengukuran keterbacaan ahli, dan berdasarkankemampuan siswa dalam memahami bacaan. Dari ketiga pengukuran tersebut selanjutnya dapat dilihat kesesuaian hasil-hasil pengukuran keterbacaan yang dilakukan sebagaimana yang tertuang di dalam tabel rekapitulasi hasil pengukuran keterbacaan di bawah ini:

4.4 Implikasi Hasil Penelitian

 Berdasarkan hasil penelitian terhadap bacaan yang digunakan sebagai buku pelajaran siswa sekolah dasar maka dapat dikemukakan beberapa implikasi hasil penelitian berkaitan dengan keterbacaan buku pelajaran sekolah dasar. 
 Apabila ditinjau berdasarkan hasil pengukuran kemampuan siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga sekolah dasar dalam memahami bacaan dapat dinyatakan bahwa mereka dapat memahami bacaan sebesar 42% dari beragam bahan bacaan yang digunakan dalam buku pelajaran Sekolah Dasar. Dari kenyataan ini dapat dikategorikan bahwa keterbacaan buku pelajaran Sekolah Dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga tergolong rendah. 
 Siswa kelas satu pada umumnya masih belum dapat membaca, sehingga bacaan pada buku dipahami dengan menghubungkannya dengan ilustrasi gambar. Apabila terdapat siswa kelas satu yang telah dapat membaca maka membaca yang dilakukannya adalah membaca literal. Kemampuan membaca yang dilakukannya adalah melafalkan lambang-lambang huruf dan kata dengan pemahaman bacaan yang masih rendah. 
 Siswa kelas empat, lima, dan enam telah dapat membaca. Mereka dapat melakukan membaca pemahaman pada semua jenis bacaan. Mereka dapat membaca bacaan dalam hati, kemudian mereka mencoba menjawab setiap pertanyaan yang tertuang di bagian bawah bacaan. Siswa kelas empat, lima, dan enam telah dapat memahami bacaan sebesar 57% dari bahan bacaan. 
Persentase kemampuan siswa dalam memahami bacaan sebagaimana diungkapkan di atas dapat diidentifikasi bahwa keterbacaan tersebut banyak dipengaruhi pula oleh aspek jenis wacana, jenis paragraf, jenis kalimat, dan pilihan kata yang digunakan dalam suatu bacaan. Oleh karena itu dari penelitian tersebut dapat dinyatakan hal-hal sebagai berikut:
1) Siswa yang terkelompokkan ke dalam siswa kelas satu, dua, dan tiga lebih dapat memahami wacana narasi daripada wacana deskripsi dan argumentasi, sedangkan siswa kelas empat, lima, dan enam pemahaman terhadap wacana deskripsinya lebih baik daripada jenis lainnya. Siswa kelompok pertama, lebih dapat memahami wacana narasi karena kemampuan kognitif mereka masih pada tahapan berpikir intuitif dan tahap berpikir logis dengan rujukan konkret, sehingga sajian wacana yang berupa rangkaian peristiwa lebih dapat dipahaminya. Sementara itu siswa kelas empat, lima, dan enam memiliki kemampuan yang lebih baik dalam memahami wacana deskripsi karena siswa sedang berada pada tahap kemampuan berpikir abstrak. Deskripsi abstrak yang digunakan pada jenis wacana deskripsi lebih dapat dipahami daripada jenis lainnya. Berdasarkan hal ini maka buku-buku pelajaran yang menyajikan bacaan secara naratif lebih dapat dipahami oleh siswa kelas dua dan tiga, sedangkan bacaan pada buku pelajaran untuk kelas empat, lima, dan enam yang banyak dipahami jika disajikan secara deskriptif.  
2) Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap jenis paragraf yang disusun secara deduktif lebih baik daripada paragraf yang disusun secara induktif. Khusus pada bacaan jenis wacana narasi, diketahui bahwa siswa kelas empat, lima, dan enam lebih baik pemahamannya jika disajikan dengan menggunakan paragraf induktif daripada deduktif. Kenyataan ini memperkuat keyakinan bahwa dalam menggunakan kemampuan berpikirnya maka siswa kelas empat, lima, enam dapat melakukannya dengan menggunakan kemampuan berpikir abstrak, melalui kemampuan merangkai peristiwa-peristiwa yang disajikan secara induktif. Berdasarkan hal ini maka buku pelajaran yang disajikan dengan menggunakan paragraf deduktif akan lebih dapat dipahami daripada jenis paragraf induktif. 
3) Pemahaman siswa sekolah dasar lebih baik dalam memahami jenis kalimat sederhana daripada memahami kalimat luas. Kalimat luas dipahami dengan lebih baik oleh siswa kelas empat, lima, dan enam daripada kalimat-kalimat sederhana. Pada jenis wacana argumentasi pemahaman siswa masih sangat rendah, sehingga kesulitan dalam memahaminya dilakukan dengan memahami penggunaan kalimat-kalimat sederhana. Sedangkan kalimat-kalimat sederhana dapat dipahami dengan baik pada jenis wacana narasi dengan paragraf deduktif. Dengan demikian siswa kelas empat, lima, dan enam memiliki cara mengatasi kesulitan memahami bacaan narasi dengan meningkatkan pemahaman kalimat-kalimat sederhana. Dari hal ini maka bacaan pada buku pelajaran untuk siswa kelas satu, dua, dan tiga sebaiknya banyak menggunakan kalimat sederhana, sedangkan kalimat-kalimat luas hanya digunakan untuk siswa kelas empat, lima, dan enam. Namun jika bacaan akan disajikan dengan menggunakan wacana argumentasi, maka akan mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan kalimat-kalimat sederhana.
4) Pemahaman kosakata pada umumnya telah dikuasai siswa kelas empat, lima, dan enam kecuali kosakata istilah tertentu. Siswa kelas satu yang telah dapat membaca, kelas dua, dan kelas tiga masih menguasai kosakata secara terbatas. Oleh karena itu, buku pelajaran yang disajikan untuk kelas satu sebaiknya lebih banyak menggunakan ilustrasi dan pengenalan lambang-lambang, sedangkan bagi siswa kelas dua dan tiga harus menghindari penggunaan istilah-istilah yang sulit dipahami siswa, demikian pula dengan suku kata yang digunakan dalam bacaan seharusnya dipilih untuk tidak menggunakan struktur sukukata kompleks atau bermakna konotatif karena akan menyulitkan siswa dalam memahaminya.
5) Pertanyaan bacaan untuk kelas satu, dua, dan tiga yang mempertanyakan ihwal yang tersurat dalam bacaan akan lebih mudah dipahami. Pertanyaan dengan jawaban terbatas (melengkapi kata atau rumpang kata) dalam konteks kalimat lebih dapat dipahami oleh para siswa. Oleh karena itu selain untuk meningkatkan pemahaman siswa dan dapat melatih siswa berbahasa dan bernalar daripada mempertanyakan objek dari suatu bacaan, maka pertanyaan bacaan sebaiknya menggunakan pertanyaan dalam konteks kalimat. Siswa kelas empat, lima, dan enam masih berkesulitan dalam menjawab pertanyaan yang tersurat atau mengukur daya nalar. Dalam buku pelajaran yang pertanyaannya mengarah kepada hal-hal tersurat lebih memudahkan siswa dalam menjawabnya, namun berdasarkan pengukuran atas pertanyaan bacaan, diketahui bahwa kemampuan mereka masih berkisar pada kemampuan menghubungkan pertanyaan dengan bacaan. Buku pelajaran yang mengarahkan pada peningkatan kemampuan berpikir siswa seharusnya melatih siswa untuk berpikir secara logis dan abstrak dengan cara melatih mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tersurat sebagai bentuk pengukuran kemampuan kognitif tingkat tinggi (penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi) dari taksonomi Bloom.  
 

BAB 5 
SIMPULAN & SARAN

5.1 Simpulan
Ciri-ciri penting dari suatu buku pelajaran untuk sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi adalah dilaihat aspek wacana, paragraf, kalimat, pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan. 
1) Berdasarkan kajian terhadap aspek wacana, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi untuk siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga disajikan dengan menggunakan wacana narasi, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi. 
2) Berdasarkan kajian terhadap aspek paragraf, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi adalah buku pelajaran yang disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif. Paragraf induktif dapat meningkatkan pemahaman siswa kelas empat, lima, dan enam jika digunakan dalam wacana narasi.
3) Berdasarkan kajian terhadap aspek kalimat, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa kelas dua dan tiga adalah jika kalimat-kalimat yang digunakannya berupa kalimat sederhana, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam dapat menggunakan kalimat luas yang dapat meningkatkan pemahamannya secara lebih baik. Jika wacana yang digunakannya adalah wacana argumentasi, maka kalimat-kalimat sederhana dalam wacana tersebut dapat meningkatkan keterbacaan suatu buku pelajaran. 
4) Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks sosial siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
5) Berdasarkan kajian terhadap pertanyaan bacaan atau latihan maka buku pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga sebaiknya menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata, atau melangkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sedangkan pertanyaan atau latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam sebaiknya menggunakan pertanyaan, perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan berpikir logis dan kemampuan berpikir abstrak.  

Dalam kaitan dengan pengukuran keterbacaan suatu bacaan atau buku pelajaran untuk sekolah dasar maka dapat dinyatakan hal-hal sebagai berikut:
1) Formula SMOG dapat digunakan untuk memprediksi kesesuaian peruntukan suatu bacaan sebelum bacaan tersebut digunakan sebagai bahan ajar kepada para siswa sekolah adasar. Formula ini sederhana dan dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang paling sedikit teridri atas 10 kalimat;
2) Pengukuran ahli terhadap keterbacaan suatu bahan bacaan hanya dapat dilakukan jika penilai (asesor) menguasai materi pelajaran yang akan diukur dan menguasai pula aspek-aspek kebahasaan yang digunakan dalam bacaan tersebut. Hasil pengukuran ahli ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keterbacaan, sebelum digunakan sebagai bahan ajar kepada siswa.
3) Pengukuran keterbacaan berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan pertanyaan bacaan merupakan pengukuran yang realistis. Hasil pengukuran dengan cara ini menghasilkan keterbacaan yang sesuai dengan hasil pengukuran dari formula SMOG atau penilaian ahli. Pengukuran jenis ini dianggap hasil pengukuran yang paling sesuai, karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pemakainya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai indikator dari suatu bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi.
Dari pembahasan yang dilakukan pada hasil analisis terhadap pengukuran keterbacaan buku pelajaran untuk sekolah dasar maka pada bagian ini dapat dikemukakan hal-hal yang berpengaruh terhadap keterbacaan suatu buku pelajaran adalah pemilihan jenis wacana, pemilihan jenis penyajian paragraf, penggunaan kalimat-kalimat dalam paragraf, pemilihan kosakata atau istilah, struktur kosakata yang digunakan, penggunaan ilustrasi dan gambar-gambar, penggunaan fontasi huruf, serta penggunaan bahasa pertanyaan atau perintah yang menjelaskan bagaimana siswa seharusnya melakukan suatu kegiatan secara lengkap.  

5.2 Saran-saran
 Dari simpulan yang sudah diungkapkan di muka maka pada bagian ini dapat disajikan beberapa saran atau rekomendasi sebagai berikut:
(1) Oleh karena pada umumnya siswa kelas satu belum dapat memahami bacaan, maka guna meningkatkan pemahaman terhadap suatu bacaan maka dalam buku pelajaran diperlukan ilustrasi yang menarik dengan bentuk grafika yang besar. Perlambangan atau peningkatan pemahaman terhadap suatu lambang sebaiknya dilakukan dengan menggunakan rujukan konkret melalui gambar-gambar; 
(2) Siswa kelas dua dan tiga telah dapat mengenal lambang-lambang bahasa, namun pemahamannya masih rendah. Oleh karena itu, bacaan yang disajikan dalam buku pelajaran sebaiknya masih menggunakan ilustrasi menarik dengan bentuk grafika yang besar. Wacana yang digunakan sebaiknya menggunakan wacana narasi, paragrafnya menggunakan penyajian paragraf secara deduktif. Kalimat-kalimat yang membangunnya sebaiknya menggunakan kalimat sederhana. Kosakata yang digunakannya sebaiknya menggunakan kosakata umum yang dikenal dalam lingkungan siswa atau pemahaman istilah-istilah tertentu dilakukan melalui penggunaan kosakata tersebut dalam konteks kalimat. Penggunaan struktur kosakata sebaiknya menggunakan struktur sederhana yang tidak menyulitkan siswa dalam memahami maknanya. 
(3) Oleh karena siswa kelas empat, lima, dan enam sekolah dasar pada umumnya telah dapat membaca, maka penyusunan buku pelajaran diarahkan penyajian bahan pelajaran yang menuntut kemampuan berpikir logis dengan rujukan yang konkret dan melatih berpikir abstrak, sehingga buku pelajaran untuk tingkatan ini dapat mengurangi ilustrasi gambar-gambar dan menggantinya dengan menyajikan gambar-gambar konkret sebagai pijak untuk berpikir abstrak. Demikian pula dengan besaran grafikanya dapat disesuaikan dengan kebutuhan seseorang yang telah dapat membaca. Wacana yang digunakan sebaiknya wacana jenis deskripsi, namun jika akan menggunakan wacana narasi sebaiknya menggunan paragraf induktif. Pada jenis wacana lainnya, paragraf yang memiliki keterbacaan tinggi adalah paragraf deduktif, sehingga pada buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sekolah dasar sebaiknya digunakan paragraf deduktif. Buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya disajikan dengan menggunakan kalimat luas agar gagasan yang disajikan lengkap. Dalam menggunakan kosakata sebaiknya mengurangi penggunaan kosakata yang kurang dikenal siswa dan kosakata yang memiliki makna konotatif. 
(4) Dalam buku pelajaran sering terdapat pertanyaan bacaan, latihan, atau perintah-perintah lain. Buku pelajaran yang memiliki keterbacaan tinggi adalah jika pertanyaan atau perintah yang digunakan dalam buku tersebut jelas. Artinya siswa dapat memahami betul apa yang seharusnya dilakukan dalam meningkatkan pemahamannya terhadap materi yang disajikan pada bagian pelajaran tersebut. Perintah atau latihan yang tidak jelas akan sedikit meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Pertanyaan dan latihan yang mengarah para peningkatan kemampuan berpikir logis dan berpikir abstrak dapat digunakan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sekolah dasar. Penyajian pertanyaan bacaan atau latihan yang jelas mengarah kepada aktivitas yang harus dilakukan siswa dan melatih kemampuan siswa berpikir merupakan salah satu buku pelajaran yang memiliki keterbacaan tinggi sehingga aspek ini harus diperhatikan dalam penyusunan buku pelajaran sekolah dasar. 
 
Demikianlah saran-saran yang dapat disampaikan berkaitan dengan kajian terhadap keterbacaan buku-buku pelajaran sekolah dasar. Mudah-mudahan dari hasil kajian ini diperoleh keberartian kajian bagi semua pihak yang berkepentingan dengan buku pelajaran sekolah dasar. 
 
DAFTAR PUSTAKA


Gilliland, John. 1972. Readability. London: Holder and Stroughton. 

Hamied, Fuad Abdul. 1995. “Teori Skema dan Kemampuan Analisis dalam Bahasa Indonesia” dalam PELLBA 8. Kanisius: Jogyakarta.

Piaget, Jean. 2002. Genetic Epistemology. [tersedia] http://tip.psychology.org. (29 Desember 2002).
 
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.

Schrock, Kathleen. 1995. Elementary Reading Instruction. The McGraw-Hil Company. [tersedia] http://school.discovery.com (6 September 2003)

Suherli, ed. 2002. Readability Research Composed. Ciamis: Program Pascasarjana Universitas Galuh.
  
Suryaman, Maman. 2002. Model Pembelajaran Membaca Berbasis Bacaan. (Disertasi). Bandung: Program Pascasarjana.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Keterampilan Membaca. Bandung: PT Angkasa.

Warriner, 1970. English Grammar and Composition. New York: Harcourt, Brace and world Inc. 

Weaver Richard, 1979. Composition. New York: Holt. Pinahart and Winston.